28.8.11

26 | nurani.

keyakinan itu tak terpeluk,
jaraknya tak terhitung oleh seberapa larian.

kepercayaan itu rasanya hanyalah titipan,
bukan seperti cairan yang mengalir, apalagi benda pejal yang teguh.

keberpihakan itu laksana energi,
tak pernah mati, apalagi lahir. hanya rupanya saja berganti-ganti.
kala itu bumi masih dini,
ada semilir dingin pembawa rindu dari utara
yang beku, lalu ia pecah dalam pelukan sang pengembara
jatuh kembali ke bawah naungan samudra.


sejak itu aku mengenalnya : rindu yang tak sampai.

26.8.11

reka (13) : mimpi jumat pagi.

dalam mimpi yang tak berjenjang dan tak bertemali,
ingatan berlompatan, tak mau berpijak apalagi sejenak berdiam diri.

dalam mimpi yang tak bersekat dan tak berpintu juga berjendela,
cerita saling berpilin, tak mau berlepas pun sekadar merenggang jeda.

dalam mimpi yang tak pernah terjaga,
setiap tanya menjadi tak berjawab, tak lagi pula ia bermakna. 
incompatibility is (only) to be found in a quest of compatibility. if it's (seem) to be found beforehand, it might only a mere presumption. 

25.8.11

25 | pertemuan.

lalu bagaimana kau menyadari bahwa kau sedang alami sebuah pertemuan?

ingat-ingat saja :
pada suatu waktu yang tak berwaktu, sudah lama sekali; dan pada suatu ruang yang tak beruang, jauh di sana; pernahkah sekali saja tangan-tangan kalian bersinggunggan, lalu kalian saling melihat dan lalu di luar sadar kalian saling lempar senyum, dan lalu semua itu terlupakan?
saat kalian kini (sama-sama) mengingatnya (kembali), itulah pertemuan.

24 | selamat tinggal.

seberapa jauh kamu pikir kamu mengerti arti selamat tinggal?

coba bayangkan :
ada semacam kristal salju, yang di dalamnya membeku jejak-jejak langkah mereka yang telah lalu-lalang dalam hidupmu, yang tak bisa kau tahan keluar masuknya. 
lalu kristal itu bergeming di dalam dirimu, sampai (nanti) mati.

23 | nyata.

kamu ingin tahu apa itu tak kasat mata?

coba ini :
saat kamu lihat ada aku di depanmu, apakah kau rasa dirimu nyata adanya?

24.8.11

22 | di balik air.

di balik air itu, ada ketenangan.
ketenangan yang melarutkan. ketenangan yang (kadang) melengahkan.

seperti waktu menahan nafas di bawahnya,
tidakkah kamu menghitung sampai berapa?

seperti waktu menyiduk gelombang permukaan dengan telunjuk,
tidakkah kamu mengukur luas lingkaran-lingkaran itu dengan rentangan telapak?

di balik air itu, ada ketenangan.
ketengan yang tidak bisa dicari, hanya bisa diselami.
"if you want to do it, do it with style. and if you want to do it with style, do it with your own style. you know, following and being followed should only be happening in twitter."

21.8.11

"No matter what you do, I believe you will be successful."
[Kim Na Na -- City Hunter Drama Series, ep.15]


notes : i always long to turn such line back  for him, it's a good feeling to know that there's someone who trust you no matter what, isn't it?

reka (12) : pasir.

pasir,
adalah seperti waktu, ketika mereka berkumpul dan terkurung di balik dinding kaca.

pasir,
adalah seperti udara, ketika mereka berserak memeluk ujung-ujung samudra.

pasir,
adalah seperti rasa, ketika mereka menyusup pada sela-sela jemari.

pasir,
adalah seperti hati, ketika mereka dengan mudah terpecah ombak, lalu bergulung hingga sampai pada karang.

pasir,
adalah seperti istana, ketika mereka merapat lewati sesederhana ember dan sekop.

pasir,
adalah seperti ingatan, ketika mereka pantulkan silaunya sinar matahari.


pasir,
adalah seperti kamu, ksatria : 
menyesakkan jalan antara aku dan dia, 
membanjirinya dengan air mata yang biaskan bahagia titipannya

21 | keramaian.

keramaian,
adalah di mana dan kapan semua ruang penuh terisi,
dengan satu saja celah kosong, satu celah tempat kamu (seharusnya) berada.

20.8.11

20 | tipologi.

kadang aku ingin bertanya, tuhan
adakah kau ciptakan bumi dan isinya dan kami manusia dengan tipologi berakar pada tanganmu?

berlembar-lembar kau tulis untuk kami, satu satu
bagimu, sang maha pencipta, tidakkah setiap lembarnya adalah yang teristimewa?

tidakkah, masing-masing jiwa kami, biar sama berwarna putih
ia akan tumpah pada pelangi dengan warna yang berbeda-beda?

wahai engkau yang maha menilai,
adakah kauselipkan sedikit kebijaksaan pada mata dan telinga kami,
agar kami dapat adil (memberi nilai) pada sesama kami?

19 | kamu. lalu dia.

jika ada kebencian yang ingin kamu katakan tentangnya, kepada dia yang lain,
bukankah bisa kaupastikan tak ada dia yang lain lagi ada di dekat kamu dan dia?

ini memang pilihan,
tapi bukankah benci bisa kamu gigit sendiri, walau mungkin rasanya mau mati.


ini memang pilihan,
dan benci bisa (saja) kamu tebar, dan lalu kamu pura-pura tak tahu.


ini memang pilihan(mu),
yang kamu tak bisa menjadikan dia memilihkannya untukmu.

19.8.11

reka (11) : malam.

selalu, ada kiriman malam darimu,
malam pengantarku padamu
malam penghadirmu kehadapku

karena malam adalah kapan jarak di antara hati-hati kita memendek,
dan cerita-cerita terkirim dan terekam pada pelupuk
menunggu tersapu dengan sepintas kecup kelak 


lalu ditutupnya malam dengan senandung larik : 
ialah lagu cinta yang tak (pernah) sampai penuhi sang jarak.

18.8.11

18 | aku.

ada apa di balik rupamu itu hai lawan?
apakah sedang mengalihkan energiku dari pertarungan kita yang sebenarnya?
apakah begitu caramu meraih kata menang?

tentu saja kau akan kalah, kuyakin betul
karena ini bukan pertarungan antara aku dan kamu,
tapi pertarungan antara aku dan aku.

mimpi saja kau ingin mengalahkanku,
karena hanya aku yang boleh menang atas aku.

17.8.11

reka (10) : merdeka.

karena ada tanya yang tak pernah surut terbawa arus zaman,

bagaimana menjadi manusia hari ini?


jika setiap masa punya jawabannya, sendiri
tanpa perlu menyesali berlalunya kemarin, atau memaki esok yang belum juga nampak,
(mungkin) itu adalah ketika merdeka (pada akhirnya) bermakna.

17 | 17.

[1]
dirgahayu, pertiwi
semoga senantiasa bersabar memayungi anak-anakmu

adalah tempatku berlindung di hari tua, hingga akhir nanti menutup mata
di mana janji tidak dibangun dengan kata-kata,
dan bakti bukan semata rencana apalagi keinginan lalu.

dan tolong tampar aku, pertiwi
jika ada masanya (nanti) aku (mungkin) memalingkan diri darimu.


[2]
bacalah. dengan menyebut nama tuhanmu.

bacalah.
dengan matamu melekat pada semesta,
dan telingamu erat pada segala pertanda,

bacalah.
dengan kejernihan pikir,
kelapangan jiwa,
dan kebesaran hati.

bacalah.
dan merdekalah dari segala ketidaktahuan yang mengungkung.

16 | tidak sama.

ada rasa senang yang tak sama antara aku dan dia.
begitupun dengan rasa sedih dan kecewa.

ada sementara mata melihat dunia melulu sambil terpekur syukur,
ada sementara lain melihatnya sambil lalu,

ada sementara telinga mendengar apa yang ia cari untuk didengar,
ada sementara lain berdiri tepat di balik pintu, menguping.

ada sementara hidung mencium wangi ratu malam,
ada sementara lain mencium bau busuk di belokan.

ada sementara mulut bertutur kisah kasih tentang cita juga cinta,
ada sementara lain menggumamkan keraguan, bahkan ketakutan.

ada sementara tangan melukis masa depan dunia pada pelupuknya,
ada sementara lain berandai jemarinya berayun di dalam mimpi.

ada sementara kaki melangkah, ke depan dan tak pernah berbalik,
ada sementara lain berjalan mundur dengan penuh keraguan.

ada tanya yang sama-sama aku dan dia cari,
ada tanya yang sama, yang antara aku dan dia, berjawab berbeda.

15 | .

hai perempuan,
hari ini, tidakkah kamu ingin bersyukur atas keleluasaan berpendidikan,
mengejar ilmu ke ujung dunia,
agar bisa kautanamkan kelak pada benih-benih masa depan dunia?

lalu katakanlah satu hari negara ketinggalan kereta,
tidakkah bakti bukan tentang kapan dan di mana?

karena selama semesta mencari bentuknya,
selama itu pula rahasia, fana dan baka, akan tetap terlahir.

maka adalah tersebut benih-benih masa depan.

14.8.11

14 | percaya.

selain dirimu, kiranya siapa yang bisa kupercaya ya tuhan?
menjadi seperti apa pernah dituliskan oleh seorang pram :
a d i l  s e j a k  d a l a m  p i k i r a n,

sungguh berjarak rasanya aku dengan apa katanya itu.

demikian, tidak juga kusangkal, tuhan
adalah peneduh hati barang sejenak,
mengetahui ada satu orang saja yang mempercayai diri ini.

cukuplah ia untukku meminta, lapangkanlah jiwa ini
untuk percaya adanya ketulusan-ketulusan pada jangkauan hati.
karena sungguh hanya engkau hakim agung yang maha menilai.

reka (9) : jarak.

perubahan itu bernama jarak,
yang nyatanya tak juga menahanmu datang dan pergi sesuka diri.

lalu apa gunamu, hai waktu pengusir debar 
teman seperjalan mengukur sang jarak,
jika tak bisa kusambut dia dengan kata rindu yang bahkan telah usang?

sedang bahagia yang ingin kukirim lewat doa pun melapuk sudah di pojokan,
membusuk oleh tanya yang masih (ingin) kubiarkan menggantung akan segala ketetapannya tentangmu.



catatan :
sungguh, ksatria, lama-lama tak bisa aku tak berprasangka ada malaikat-malaikat yang telah mengisikimu tentang kapan saja tuhan ingin membolak-balikkan hatiku. dan lalu kau ikut menyelinap, masuk ke dalamnya, dan lalu keluar. begitu terus. selalu. sambil (hanya) tersenyum. senyum yang sederhana. yang (telah) memaku salah satu pojok hatiku kuat-kuat, membuat tuhan harus bekerja sedikit keras waktu membolak-balikkannya.

13.8.11

13 | question.

"Intellect is not found in the answer, but in the question.


...those who can question things themselves are those who will be able to find answers."




(Sungkyunkwan Scandal, ep.4)

reka (8) : rindu.

dan demi apa pun pada semesta,
aku hanya ingin mengetuk pintu rumahmu,
berteriak memanggil namamu,
mengajakmu bermain bersama (lagi) ke kebun di balik hutan belakang rumah kita.

di mana ada bebek-bebek yang akan ikut membuntuti kita saat bermain tari kereta api,
di mana ada pohon-pohon beri yang tidak boleh dipetik,
di mana ada padang rumput tempat kita bisa menatap angkasa dengan bergandengan tangan
tanpa harus terganggu oleh sebentuk ingin yang suka sekali menyelinap di antara kita.

dan demi apa pun sepanjang masa,
aku hanya ingin membuka jendela kamarmu,
lalu membisikkan namamu berulang kali sampai kau bangun,
memintamu untuk loncat keluar jedela diam-diam supaya tidak ketahuan ibumu.

ke taman kecil rahasia di antara rumahmu dan rumahku,
ke mana ada bunga-bunga aster yang pernah kita tanam bersama,
ke mana ada timbunan kapsul waktu yang kita tidak tahu milik siapa,
ke mana siang dan malam tak banyak berbeda bagi kita. 


karena setiap saat aku dan kamu bersama,
tak ada hitungan masa yang sanggup merangkumnya,
tak juga ada kata rindu masuk ke dalam benak masing-masing kita.

reka (7) : kaca.

ada yang beriak pada langit-langit gudang bawah tanah, di balik kaca.
bukan dulu, apalagi nanti
adalah dentang, pembatas laju masa menuju saat

seperti luka memar yang membiru,
dan hati yang ikut meringis kesakitan

ada yang berarak pada kaki langit, di balik kaca.
bukan di sini, bukan pula di sana
adalah sekat yang melayang, pembatas bilik sebelum (sempat) menjadikannya ruang

seperti darah yang mengucur pelan-pelan,
dan air mata yang menggenang tanpa (bisa) mengalir

12.8.11

12 | langkah(i)

(over my dead body!)

adalah langkah terlarang, saat tapak mendarat tajam pada rasa yang baru saja lahir,
membunuhnya bahkan saat ia belum juga punya nama.

lalu, ada pula rasa-rasa lain yang ikut tertebas belakangan,
demi cinta yang ia yakini ada di belakang mereka.

padahal ternyata dia semu.
penipu yang berdiri paling akhir, tersenyum sinis, sambil berkata bertanya :
bagaimana rasanya menginjak yang sebenarnya kau cari selama ini?
bagaimana rasanya melangkahi yang kau sangka mati, padahal ia (masih) megap-megap dengan sisa perih yang kau toreh?



tapi bukankah (memang) hanya ada penipu untuk penipu?


.
catatan :
ada semacam dendam, yang terlupakan selama hampir belasan tahun, yang hingga hari ini masih belum juga bisa tertuang sempurna dalam sebentuk tulisan. apalagi cerita. apalagi puisi. demikian belum juga sempurna terlepaskan dan diikhlaskan.

mungkin memang puisi bukan untuk melukiskan sebentuk kesumat. 

11.8.11

i might need years to get there,
but for that exact moment, i don't wanna delay it 
even if it's just for a day.

11 | filsuf.

saat-saat mendebarkan itu adalah saat-saat menjelang usia enambelas
di mana kepala rasanya penuh dengan tanya :
siapa aku, siapa kamu, mengapa kita di sini, mengapa begini dan mengapa begitu,
mengapa kita berpijak pada dia yang bernama bumi,
mengapa harus ada kantuk, mengapa harus ada langit biru dan langit hitam.

lalu ada debar-debar yang lebih keras, saat menyadari ada tanya yang lain :
apakah dirimu Tuhan, ada di mana dirimu, seperti apa rupamu,
mengapa harus aku bersujud seperti ini,
mengapa harus kubicara padamu dengan bahasa yang aku tidak mengerti,
mengapa tidak bisa kukatakan pintaku langsung ke hadapanmu.

apakah benar setiap nafas, setiap langkah, bahkan setiap tanyaku tadi adalah telah kau tentukan untukku.

dan tak ada lagi dusta melebihi saat-saat aku berbicara pada mereka,
bahwa dirimu itu begini dan begitu,
padahal sungguh, aku tidak tahu apa-apa.

dan mungkin hanya dengan keraguanku aku bisa mengenalmu sebetul-betulnya,
sepanjang umur yang telah kau tentukan untukku.

reka (6) : air mata.

sakit sungguh kedua jendela hati ini,
tapi demi mengalirmu, tak mengapa.

karena di sini ada telaga tak berbatas,
tak kan pernah habis, kapanpun ada rasa perih yang sampai lewat kabar.

karena telaga ini tak terselami,
juga tak kan surut ia oleh luka-luka yang pura-pura menganga.

10.8.11

10 | memori.

lembar-lembar memori bergantungan pada bandul,
yang berayun tepat pukul sebelas malam.

mereka lalu ikut berdendang, berdentang seiring ayunan,
merubuhkan bilik-bilik imajiner dalam kepala,
membaurkan segala yang masih teringat, memilahnya :

mana untuk dibawa, mana untuk ditinggal.

9.8.11

9 | hutang.

kadang ada ketidaknyamanan di balik sebuah kelegaan.

mungkin ketidaknyamanan yang mendewasakan,
atau mungkin juga ketidaknyamanan yang menjadi sekadar alasan.

namun kelegaan hanya akan datang saat beban terangkat,
sedang untuk mengangkatnya, ketidaknyamanan adalah pasti untuk sedikit terselip.

kadang ada ketidaknyamanan di balik sebuah kelegaan.
namun ia ada bukan untuk kita melarut di dalamnya.

reka (5) : tangga.

pada anak tangga ada hati-hati yang tercecer,
tak terlihat, tak terdengar.
saru dengan warna sang pijakan,
saru pula dengan suara derit kala terbeban.

hanya t e r i n j a k  i a

lalu adakah sakit itu terasa?
ataukah dengan terberai maka dengan sendiri ia mati?


lalu apakah itu, genangan yang ada pada bawah tangga,
juga isakan menyayat penopang anak-anak yang menaunginya?

8.8.11

reka (4) : botol.

kuhanyut pada samudra waktu yang kau buang,
demi menungguku,
demi menunggu kita.
tidakkah kau lihat ia berbalik? padamu dan padaku?

tersangkut kau di waktuku, pada batang yang tertahan satu karang besar,
demi mencariku,
demi menjadi kita.
pada hilir, yang kelak kita beri nama pertemuan.

tidakkah kau lihat? laut itu menggoda untuk kita selami bersama.
setelah ini, mari...

reka (3) : debu.

rintik menderas menyerbu,
bubarkan kumpulan debu pada teras kayu,
hingga terdesak mereka, merapat, membercak pada dinding putih,
meratap pada kumpulan yang terpecah.


aku hanya ingin kalian pergi ke penjuru,
meneruskan terang yang tak abadi hingga ke dalam selukbeluk bilik.


mungkin begitu kata tetes-tetes yang merintik.

reka (2) : bintang.

sungguh tak tertangkap nampaknya engkau, gemintang.
apa itu pada jarak antara bumi dan kau?

ia itu hamparan pasir,
yang padanya kau harus mengarung demi mencapaiku, kunang-kunang.

namun tidakkah bumi sedang berpesta malam musim panas?
tidakkah kau mau menari-nari, menjadi semacam aku 
bagi kehidupan-kehidupan kecil yang berjejak padanya?

reka (1) : kereta.

selamat malam tuan putri,
kiranya apa yang membuatmu masih terjaga?
padahal bulan bersinar sempurna mengamankan malam yang memelukmu.

adalah matahari yang menjadi penumpangmu,
tidakkah ia sedang menunggu waktunya turun saat lintasan kereta melewati zona waktu ke lima?
lalu masih adakah lelap itu, wahai tuan penarik kereta?

8 | sudah(i).

tidakkah kamu ingin menyudahinya?
kegaduhan yang aku dan kamu timbulkan dengan alasan mencari jalan tengah.
karena bukankah sesungguhnya tidak ada, dan tidak akan pernah ada, jalan tengah itu?

yakinkah kamu ingin mengganti median ini
dengan dunia linear yang tergaris, yang tegak lurus dengan hari ini dan hari nanti,
yang terhimpit di antara jalanku dan jalanmu?

dan yakinkah kamu bahwa seingin itu pula aku?
tidakkah kamu ingin aku sama-sama menyudahinya?
sesuatu yang bahkan ingatanku dan ingatanmu pun meragukannya:


benarkah kamu memulainya (dulu)?

7.8.11

kadang ada kelakar yang tidak tahu waktu, apalagi malu.
jangan kamu tertipu, 
jangan pula salahkan Tuhan untuk nyeri yang bertalu,
tebalkan saja dinding rasamu, 


sang pengayak jenaka 
hingga pada serpih terkecil, hingga lidahmu tak lagi kelu.

7 | refleksi.

Ternyata saya keburu kehabisan bahan untuk menjadi tema tulisan 30hari di bulan Ramadhan ini. Apakah saya sudah sebegitu keras hatinyakah hingga menjadi terlalu malas untuk melakukan refleksi?

Bukan begitu. Hanya saja kok lama-lama rasanya aneh, membuat tulisan yang seakan-akan menggurui diri sendiri, membuat tulisan yang kalau saya baca ulang nanti cukup saya baca baris terakhir dan saya akan langsung tahu apa yang membuat saya menulis seperti itu. Saya tidak terlalu suka sebenarnya membuat saya di masa depan bisa mengingat-ngingat dengan jelas kejadian apa yang saya alami di masa sekarang yang membuat saya menulis ini dan itu. Saya lebih suka membuat diri saya di masa depan kebingungan dan menebak-nebak apa sih yang membuat saya menuliskan ini dan itu.

Dengan begitu mungkin hikmah atau pelajaran (jika memang harus ada) yang saya ambil bisa berlipat. Satu, saat saya menuliskannya. Dan dua, saat saya nanti membacanya (lagi). Dengan demikian kenangan yang sebenarnya pahit mungkin tidak akan bersisa seiring waktu yang mengurainya. Dan kenangan yang sebenarnya manis mungkin hanya akan meruapkan aroma lembut yang samar-samar pada masa depan. Menjadikan setiap cerita bermakna pada setiap saatnya.

Dan saya pernah memilih cara yang rasanya paling pas untuk saya : menulis puisi. Sekarang, saya pilih kembali cara itu. Cara untuk berefleksi.

Puisi. Dan sesekali cerita-cerita panjang pendek.

senyum di balik selimut.

tak pernah ada yang tertinggal dari malam-malam panjang dengan namamu memenuhi seluruh rongga pikir. tak pernah ada keputusan masuk akal yang kubuat dengan tatapanmu membayang pada seluruh dinding hati. bahkan tak pernah ada sepenggal "apa kabar?" yang berani kuluncurkan dari mulut, padahal ia telah berlatih tiga hari tiga malam.

ada selembar daftar bahan pembicaraan yang telah lama tertancap pada papan kerja di sampingku. tentang bagaimana kehidupan di negeri empat musim. tentang pencakar-pencakar langit yang dulu sama-sama kita lihat dalam buku-buku kuliah. tentang bagaimana menyebalkannya ujian di setiap akhir semester kuliah, baik dulu maupun sekarang, baik di sini maupun di sana. tentang penatnya bekerja sehari semalam. tentang merahnya mata akibat layar komputer yang tak mau mati dan tumpukan buku yang tidak juga habis dibaca. tentang kekasih...mu. tentang kekasih...ku.

lalu tentang jejaring tak kasatmata penyaru yang dekat dan yang jauh. seperti kamu dan aku. di mana dalam ruang kita mungkin berjarak sepelemparan batu, namun dalam waktu kita berjarak selamanya. tak adakah tera pada keduanya?

tapi kau sendiri sudah terlalu besar untuk terbagi ke dalam sekat-sekat kepalaku,
dan bayanganmu sudah terlalu pekat untuk membungkus tipis-tipis bilik hatiku.

tak pernah ada yang mewujud dari malam-malam panjang yang sia-sia ini,
kecuali senyummu yang mengikutiku hingga ke balik selimut.

6.8.11

bagaimana caramu merindu, Ksatria?

apakah dengan tertegun-tegun memandang keluar kaca jendela apartemenmu?
apakah dengan goresan-goresan acak menyayat pada selembar tissue yang kini koyak dalam kepalanmu?
apakah dengan tombol panggil pada telepon selularmu, yang selalu kau batalkan bahkan sebelum panggilan pertama sampai pada si pemilik nomor?
apakah dengan menangis sambil mendengarkan lagu-lagu cinta pada radio, setelah memastikan pintu kamarmu terkunci sempurna?
ataukah sepertiku, dengan menarikan jemari cepat-cepat di atas papan tombol jari berwarna hitam, sambil tersenyum-senyum sendiri, dan sesekali menangis? walau aku yakin, kau pun pasti tahu sebagaimana aku tahu, takkan pernah ada rangkaian aksara yang sanggup membungkus rasa rindu, adakah?


bagaimana caramu merindu, Ksatria? 
sungguh aku hanya ingin tahu. siapa tahu bisa kutiru. siapa tahu dengan begitu rindu ini akan sampai padamu.




bagaimana cara merindumu Ksatria?

6 | cukup.

seperti segaris sempurna penghubung titik-titik tak berhingga yang tersebar dalam semesta, 
telah Ia cukupkan segalanya bagimu juga bagiku,
dan ingin dilihatNya dirimu juga diriku, saling menggenapkan pinta dengan langkah juga doa.


seperti sabit, serupa penanda satu putaran bulan,
telah Ia lengkapi setiap penggal cerita dengan pertemuan,
dan ingin disaksikanNya, bagaimana aku dan kamu bermain di antaranya.

5.8.11

5 | sleep.

Watching how fast the timeline in twitter is moving, especially on certain trending topics, i wonder does the world ever really sleep? 
And, so how can we ever expect God to sleep from watching us?


If any tiny movements were caught, and if any hushes were heard, what is to hide and what is not to pray?


It's (still) a little wonders (to me) of how things work and go in many particular ways those all (still) under the same Control.

4.8.11

4 | kesehatan.

Tahun ini dua kali sudah saya terkena serangan flu, dengan tahap-tahap seperti ini : h1--tenggorokan sakit, mata perih dan sedikit pusing; mirip gejala panas dalam >> h2--radang tenggorokan semakin menjadi, ditambah gejala flu, sedikit pusing dan demam >> h3--radang tenggorokan sedikit menghilang, flu semakin menjadi, kadang ditambah batuk dan pusing serta demam >> h4--flu dalam kondisi parah-parahnya, demam, pusing, lemas dan mudah sekali berimajinasi seakan sudah melakukan ini dan itu, padahal belum >> h5--flu sedikit membaik, demam, pusing dan lemas juga mulai berkurang >> h6&h7--kondisi mulai membaik.

Masalahnya, terkena serangan sakit, walaupun mungkin "hanya" flu (plus plus demam, pusing dan radang tenggorokan), pada waktu-waktu sekarang di mana kata "tesis" mendadak muncul di mana-mana sungguhlah menguras energi. Apalagi di saat-saat demam dan pusing, sering sekali didatangi mimpi-mimpi aneh, semisal mimpi dimarahin dosen-dosen pembimbing, mimpi sidang (padahal jadwal belum keluar), lalu mimpi seakan-akan berada di dalam ruang yang dikelilingi oleh kertas-keertas berilustrasi diagram, tabel, peta dan entah apa lagi. Lebih parah lagi, kalau di dalam mimpi itu, ceritanya di depan saya terpampang layar komputer besar dengan program pengolah fotografis yang sedang menyala dilengkapi dengan perintah tertentu, dalam hal ini yang bersimbol pipet (maaf, istilah ini memang agak lokal).

Intinya, sakit itu nggak enak, apalagi di bulan puasa seperti ini. Dan saya sedang tidak ingin terlalu banyak merecoki tubuh saya dengan obat-obatan kimia. Tapi setelah tiga hari, rasanya nggak tahaaaaannn *lebay*. Dan akhirnya saya pun menyerah dengan menenggak sebutir kaplet obat flu. Hiks. Apa boleh buat. Saya sedang dalam kondisi tidak boleh tumbang lebih dari seminggu.

Walaupun saya percaya tubuh punya bahasanya sendiri untuk mengirimkan tanda pada kita bahwa ia perlu diperhatikan lebih, kadang saya justru (dengan sengaja) memilih untuk (pura-pura) tidak mendengarnya.

Dilematis memang. Di satu sisi, tubuh adalah titipanNya yang juga harus kita jaga agar ia dapat berfungsi optimal bagi kita, termasuk sebagai alat utama yang membantu kita mengejar cita-cita. Namun di sisi lain, demi mengejar si cita-cita, si tubuh pun menjadi terabaikan, dimanfaatkan habis-habisan dengan anggapan harapan dia tidak akan kenapa-kenapa. Sekali lagi, dilematis. Saya pun masih sering untuk memilih yang kedua tersebut.

Tapi kalau sudah begini, nggak bisa apa-apa juga kan? Kepala pusing dan badan meriang, belum jika ditambah batuk dan hidung yang terus-menerus mengeluarkan suara aneh, mana bisa diajak berpikir, apalagi bekerja. *Tapi  masih sempat ya mengetik sepanjang ini???*


Laptop aja bisa protes dengan blue screen *loh*.

3.8.11

3 | e...ca...

Di antara pertarungan seumur hidup melawan diri sendiri adalah menghadapi sifat nyolot saya. Berasal kata 'solot' yang artinya 1) gemas, atau 2) marah sekali, sifat yang bentuk ekspresinya ditandai dengan menaiknya nada bicara ditambah dengan pilihan kata yang sifatnya defensif, sifat satu ini sungguhlah tidak enak didengar, dilihat, apalagi dipelihara.

Maka "kenapa tetap dipelihara dong nyolotnya?" tentunya menjadi salah satu pertanyaan yang sulit saya jawab (tentunya selain pertanyaan "kapan kawin?").

Sebagai perempuan Aries (kok bawa-bawa astrologi??), walaupun tampak luar terlihat (agak) tenang, saya memang merasa memiliki ego yang (terlalu) tinggi. Saya mungkin jarang terlihat komplen, tapi sebenarnya hati saya selalu bergejolak saat melihat hal-hal yang berjalan tidak sesuai yang saya harapkan atau, sejujurnya, berjalan tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan bagaimana seharusnya ia berjalan.

Tetapi, dunia memang tidak berjalan sesuai keinginan saya (saja) kan?

Untuk beberapa hal, akhirnya saya bisa berdamai dengan jalan kompromi. Ada beberapa "seharusnya" versi saya yang akhirnya saya tinjau kembali. Mungkin bahkan kata "seharusnya" (begini atau begitu) itu sebenarnya tidak ada *nah, ini tidak mungkin, karena jelas ada kata "harus" dalam KBBI*.

Sayangnya, untuk beberapa hal sisanya, saya belum sanggup untuk berdamai. Tapi, ya kan nggak mungkin juga saya sampai entah kapan terus-menerus marah-marah untuk hal-hal yang sama, padahal di sisi lain saya juga tahu bahwa hal-hal yang membuat saya marah tersebut tidak akan pernah berubah. Kecuali kalau saya mau mengubah cara pandang saya akan hal tersebut tentunya, yang mana hal tersebut (saat ini) tidak mungkin *ya kalau begitu ceritanya namanya berdamai dong, sedangkan ini kan kasus di mana saya ceritanya belum bisa berdamai*.

Saya memang tidak bisa mengendalikan kapan emosi bisa mendatangi saya dan kapan tidak, tapi saya bisa memilih bagaimana saya berurusan dengannya. Jika sebelum-sebelumnya saya memilih untuk berurusan dengannya  dengan penuh kehebohan (solot sana solot sini), beberapa waktu terakhir ini, saya memilih untuk berusan dengannya dengan berbisik-bisik (nggak nyolot maksudnya).

Susah yaaaaa ~.~

Apalagi ketika orang-orang di sekitar saya sudah terlanjur terbiasa dan bahkan menerima kenyataan bahwa saya orangnya nyolot. Sedih rasanya. Dan bukan sekali dua kali saya 'tergoda' untuk tetap memelihara sifat nyolot ini, karena pikir saya, toh sekuat apapun saya berusaha untuk berubah, tidak ada orang yang akan menyadarinya atau lebih parah, mengapresiasinya. Tanggapan yang bermunculan pun biasanya berkisar pada "udahlah, nyolot mah nyolot aja" atau "udah bawaan juga" dan komentar-komentar lain yang sebangsa. Kesal? Tentu saja *makanya setiap usaha itu kadang berakhir dengan menyerah*.

Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, sifat saya adalah urusan saya dan tanggung jawab saya kepada Tuhan. Bukan urusan orang lain. Bukankah aneh rasanya saat saya merasa kecil hati hanya karena beberapa orang, yang mungkin sebenarnya juga nggak kenal-kenal amat dengan saya, meragukan niat saya untuk memperbaiki diri?

Maka, akhir-akhir ini, di saat-saat saya merasa ingin meledak karena hal-hal yang mungkin kurang penting maka saya pun berlatih menghadapinya dengan menghitung domba membatin "e...ca...pedehhh".

Terdengar basi? Memang. Tapi percayalah, itu ampuh untuk saya. Setiap kali saya merasa terpancing atau terintimidasi dengan orang lain yang berbuntut munculnya emosi-emosi berwarna kelam dalam diri saya, saya selalu mengingat kata-kata sakti tadi, dan meluncurkannya dengan mulus dari mulut dalam hati saya.

Setelah itu, hidup saya pun kembali tenang seakan-akan si hal-hal menyebalkan itu tidak pernah ada, padahal ada, banget, di situ. Tapi saya nggak perlu membuat hidup saya ikut-ikutan jadi menyebalkan, bukan? Kasihan orang lain kalau harus selalu membatin "e...ca...pedeh" setiap kali berhadapan dengan saya.

.

Catatan 1 : terimakasih untuk siapapun yang mempopulerkan istilah "e...ca...(pedeh)" itu beberapa tahun yang lalu.

Catatan 2 : seperti kata Safir Senduk dalam salah satu twit-nya "Terima seseorang apa adanya. Bukan adanya apa." dan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan, maka berilah ruang untuk perubahan itu, baik pada sesuatu maupun seseorang :)

2.8.11

2 | puasa dan godaannya.

Sebenarnya, di bulan puasa ini saya (lagi-lagi tidak kapok) merencanakan program menulis 30hari. Hanya saja kali ini, tulisan-tulisan akan lebih bersifat refleksi (berhubung bulan Ramadhan) dalam bentuk tulisan pendek-pendek saja. Program menulis 30hari ini sebenarnya adalah sebagai penyeimbang dari program "mengejar 10 Oktober" dan program ber'"Ramadhan 1432 H." Judulnya saja penyeimbang, tapi sebenarnya diselip-selipkan ;p

Untuk hari ini, berhubung mendadak saya, entah kenapa, terkena godaan berupa serangan radang tenggorakan dan gejala flu lengkap dengan meriang (matahari super cerah tapi kok udara rasanya super dingin) *padahal saya nggak minum-minuman dingin loh :(* maka tulisan hari ini saya ganti dengan dokumentasi (karena dengan kondisi seperti ini saya terlalu malas menulis, hehehe), yaitu dokumentasi sekeliling saya selama mengerjakan tesis, khususnya di bulan-bulan terakhir ini.

Ini dia.


1. papan tempel kartu-kartu penyemangat, terutama yang bergambar keluarga kecil : ayah, bunda dan anak perempuan *loh*


2. laptop yang selalu menyala, secangkir kopi hitam 'aroma' ;) serta corat-coret daftar pekerjaan (yang seharusnya dikerjakan)


3. papan tempel perkakas tesis. tapi ada satu dreamboard yang nyasar tak mengapa lah ya...
adalah sebagai pengingat yang manis, bahwa ada mimpi yang pernah diimpikan, lalu terwujud dan harus diselesaikan,
untuk kemudian bisa bermimpi lagi yang lain, mewujudkannya dan menyelesaikannya.

kata kunci : sabar, jangan terburu-buru namun pasti dalam setiap langkah.


4. rak buku super berantakan, karena buku-bukunya tersebar di sana-sini *padahal dibaca juga belum tentu :p*


5. sesekali ada 'danish pastry' yang menemani secangkir kopi hitam 'aroma' juga layar dengan jendela maya di mana namanya (hampir) selalu menyala : "dilihat boleh, disapa jangan" :)


...dan semoga, 
pemandangan ini tidak berlama-lama diam di sini dan semoga saya pun tidak berlama-lama betah melihatnya. Amiinnn...

1.8.11

1 | karena.

adalah sederet alasan yang tersusun rapat-rapat serupa punggung kursi malas.
yang padanya kamu bersandar, lalu bilang "aku jatuh cinta".

maka bersiaplah kau terjengkal jika tahu-tahu putus tali pengikat, dan lalu terserak sebagai alas kepalamu sekumpulan alasan yang kini tanpa makna.

bilanglah kau jatuh cinta, tanpa harus bersandarkan karena.
mencintalah kau, tanpa definisi, apalagi kerangka.
mencintalah kau, apapun yang terjadi.

sehingga perjalanan rasa kelak menjadi pelajaran yang sesungguh-sungguhnya.

jika (memang harus) ada satu karena,
satu saja alasan. mencintalah karena Tuhanmu.

.
karena bukahkah begitu Ia mencintaimu?