31.3.13

[notes on change] #6

prasangka tak pernah percaya tanpa maksud.
tanpa prasangka (justru) percaya akan segala maksud.
yang demikian itu, saya rasa, manusiawi.

saya pun lalu berkhayal mendengar tuhan bergumam,
manusia ini suka sekali berlindung di balik kata-kata bahwa hati-hati orang adalah urusanku
memang demikian adanya.
tapi bahwa benar hati-hati adalah urusanku
tidak semerta menjadikannya bukan urusan yang kuamanahkan.
kupercayakan masing-masing mereka dengan hati
bukan untuk lantas mengingkari keberadaan hati-hati yang lain.

lalu ada malaikat tanpa nama yang menegur saya
katanya kata-kata tuhan bukan untuk saya khayalkan.
katanya sebaiknya saya tidak berlindung di balik sesuatu yang kira-kira.
katanya juga, doa adalah satu-satunya yang bukan diantaranya.

.

catatan : tulisan ini adalah fiksi.

30.3.13

- push -


malam-malam berlampu di kota besar itu bagaikan gambar yang dicetak 
dari film negatif ISO400 yang di-push 2 stop 

.   .
.   .


pagi-pagi berbunga di reruntuhan masa lalu itu bagaikan gambar yang dicetak 
dari film negatif hitam putih ISO100 yang di-push 1 stop

: :

tentang putri.

ini bukan tentang putri pasangan pangeran.
bukan putri yang dicari-cari ksatria.
tapi putri anak perempuan ibu dan bapak.


ini bukan cerita khayal tentang cinta.
bukan serpih sisa-sisa sayang yang tak sampai.
tapi tentang surat-surat cinta ibu dan anak perempuannya.


ini bukan berbagi yang tak perlu.
atau tak berbagi yang perlu.
tapi menyimpan rapat-rapat cerita yang berpindah nanti pada waktunya.


lewat mesin waktu yang (semoga saja) tak akan lekang dimakan masa.


ini adalah tentang berhenti menulis untuk sebuah alasan,
dan kemudian memulai lagi menulis untuk alasan lain.


karena tentang putri,
ada yang dunia tidak perlu tahu.

22.3.13

puisi pelupa.

hampir sepanjang jalan, puisi adalah pelupa.
ia pendengar setia cerita deru hati dan dentum kepala,
mengingatnya baik-baik, rapi-rapi menyimpannya
sampai hadir selembar kertas putih di depannya,
yang harus jadi padanya sebuah ungkapan apa adanya.

lalu ia lupa semua cerita
(tapi tak mau kertas putih kembali kosong),
maka ditulisnya sebuah andaikata.

bukan lagi puisi.

puisi pengingat.

sesekali, puisi adalah pengingat
akan hal-hal yang sebaiknya berhenti dilakukan.

misalnya : berasumsi tentang sebuah kebetulan.

kebetulan itu adalah dua hal yang sama-sama betul,
bisa jadi saling berhubungan, bisa jadi tidak
(seperti pada soal-soal pilihan berganda di hampir setiap ujian kenaikan kelas).
untuk tahu yang mana jawabannya, tentu harus mau sedikir berpikir,
memakai teori-teori mengenai logika
yang masih cukup masuk di hati.

atau pakai saja sepenuhnya hati untuk mencari tahu jawabannya.
sepenuh-penuhnya sudah ada tadah jika ia tumpah,
puisi pengingat.

jangan-jangan dua hal betul tadi bukan pada soal yang sama.

21.3.13

hari puisi.

saya baru tahu kalau kamu berhari.
sejak mengenalmu di suatu hari yang bertanggal namun kukaburkan,
tak pernah terpikir aku untuk membuat perayaan untukmu.

karena kamu adalah perayaan itu sendiri.
karena kamu tidak butuh jeda berlilin untuk tahu kamu sedang bertumbuh.

dan tumbuhmu itu tiada henti,
sekalipun waktu melangkah mundur
kamu satu-satunya yang setia tak menghitung berapa yang hilang.

kamu hanya menjaga semua yang ada.
karena hari ini hanya ada hari ini.
sayang. lagi-lagi hanya kamu yang menyadarinya.


selamat berhari, puisi :)

perjalanan.


perjalanan adalah perkara keberanian.

keberanian untuk berniat.
keberanian untuk beroleh restu.
keberanian untuk meninggalkan diri sendiri.
keberanian untuk melangkah langkah pertama.
keberanian untuk tersesat.
keberanian untuk bertanya dan bertanya-tanya.
keberanian untuk bercermin : apakah ini tujuan, atau masih perjalanan?

lalu,
keberanian untuk pulang.

[notes on change] #5

Mereka sibuk saling menyalahkan. Padahal mungkin tidak akan sampai satu menit untuk menarik nafas, diam, mengira-ngira "bagaimana kalau saya menjadi dia?". Mereka sibuk berasumsi. Bukan tentang mengapa dia begitu? tapi apa yang saya (kira) saya dengar tentang dia. Imajinasi lalu disalahgunakan.

Itu tentang mereka. Dari sana, mungkin ini untuk saya :

"Banyak-banyaklah diam dan mendengarkan. Kalau belum terbiasa memasang kuping lebar-lebar dan lama-lama, paling tidak banyak-banyaklah diam. Karena kamu belum pandai menempatkan diri menjadi orang lain. Atau mungkin kamu tidak mau, hanya kamu tidak mau mengakuinya. Maka sedikitnya, lebih banyaklah kamu berdiam. Suara yang tidak datang dari sebuah pengertian tidak akan bisa menjadi jejak, yang samar sekalipun."

18.3.13

dari jendela.


satu-satu mimpi terjengkang,
satu bangkit, satu terus tidur

satu-satu hari melipur lara,
satu kembali tersenyum, satu tetap menangis

.

setiap jendela punya cerita sendiri-sendiri,
tentang bagaimana hati-hati mengucapkan selamat tinggal pada mimpi,
satu lalu melambai sambil bilang sampai besok
satu lalu membungkuk sambil bilang terima kasih sudah mampir

.




15.3.13

i had enough.
i wish there's a fast track in learning how to be sincere.

14.3.13

[notes on change] #4

If there're people i really want to kick off their butt, among them is definitely one who invent the phrase "preparing for the worst case scenario". Today I realized one thing : why must one prepare for a bad thing (to happen)? Like, why must one prepare to have a heart broken? Didn't the bad thing itself already bad? Why must make it worse with preparing for it?

If one day a heart must be broken, at the very least I don't want to make it happen faster, by thinking of it overly over and over preparing "what if that happen..." I just don't want to double the pain.


So, why would even one really make a worst case scenario in the first place?

12.3.13

kutulis kauhapus.

jika kutulis sepertinya,
maka aku bukan aku. pun bukan dia
dan tidak pernah sedianya.

.
jika kutulis begitu,
maka bukan tentangmu itu. tapi seakan-akan kamu.

singgah.

tengah malam waktu datang,
bertemu teman sejati : waktu yang berhenti,
nafas yang tak terhitung,
dan pagi yang tersembunyi.

tengah malam waktu pergi,
tinggalkan musuh abadi : jeda yang tersia,
senyum yang tak terbagi,
dan malam yang setia seadanya.

[notes on change] #3

yesterday i realized, i can not really escape stereotypes. it's already everywhere. 
in stars, in blood, on air, and off air.

let's start from astrology. and then the blood type.
from the academic class. to the social class.
and never forget to mention the double standard of mainstream and hipster. in short: taste. or in a more polite way: preference.
finally, the way people used to know you. most of the cases, it stays longer than you might have imagined, or you would have never hoped for, if not to say forever.

try to escape those apparently was, is, and will always be, a waste of time.


.
ps : how about try to smile on it, instead? and while you're on, make the drama of it, write it down as short stories. and send them to teenage magazines.i repeat: teenage, not kid.

10.3.13

[notes on change] #2

(every) things must have a purpose, just like nothing is ever created just for nothing.

.
from an academic plan, to a wedding plan. from a personal financial plan, to a business plan. from the simple diet plan, to the bigger healthier-life plan.

.
so, to reflect :
is there anything i do, i have, and i am right now with no purpose?

my works. my hobby. my other interests and activities.
my clothes. my food. my books. my other fancy belongings. my social media/network accounts.
my future goals. and all the way i am right now.



.

ps : if there's any, you know what to do.

8.3.13

pasti.

: tak ada itu di dunia.

hasrat pun menggebu lalu patuh pada restu.
waktu yang biar lambat asal selamat kemudian meringkuk di balik penantian.


seperti ujung pada dunia : tidak ada itu.



tapi,


jarang-jarang kamu muncul dalam mimpiku,
apalagi dengan senyum manis begitu.

sepertinya itu kamu lupa,
kita sedang tidak saling bicara.

.

.

.

sudah lewat tiga hari. mungkin Tuhan sudah bosan dengan antara kita yang tidak pernah ada.

7.3.13

sederhana,



mungkin adalah mengetikkan "hai, kamu...apa kabar?"
dan mengirimkannya melalui telepon kecil dalam genggaman.

ketimbang membawanya jauh ke dasar lelap.
karena di sana aku pasti lupa segala pesan,

termasuk juga untuk mengingat-ngingat :
jika ada kamu nanti berwujud, itu bunga, bukan tanda.


.
catatan : pesan penuh, kemudian

"hai, kamu...apa kabar?
jika kiranya rindu padaku, sudilah datang ke depan pintu rumah,
karena semua pesan tak kan sampai dari gerbang mimpi..."

5.3.13

sembilan | 2

keberanian itu ada di dalam kaleng kedap udara
yang dalam mimpi kutitipkan takut-takut pada sebuah bayangan.

baginya itu adalah kapsul waktu
semacam janji sambil lalu

menahannya kencang-kencang pada tempatnya
dengan satu paku bernama rindu

yang lalu karenya sakitnya, bayangan pun menjelma
ia lah luka yang tak sempat mampir.

3.3.13

[notes on change] #1

soon, very soon, i gotta leave these shoujo(s) behind and switch to those josei(s)
while i used to think it's quite scary, the shorter the distance actually blew all the worries smoothly.

and i won't come with any excuse,
not an "i chose so" because i don't, not a "maybe there's a better plan" because who knows, not a "well, i'm still have unfinished business, anyway" because businesses will never finished until the very last breath.

it's just accepting that once i used to be there (looking back) and soon will be there (looking upfront).
as simple as that.


ps : but you know, writing it down actually made it to be not as simple as that.

2.3.13

sembilan | 1

ritual malam pukul sembilan :
mengantarkanmu memasuki gerbang mimpi
dari jarak yang masih terjangkau bumi,
dengan kecup lewat ekor matahari pada bulan.

1.3.13

kereta abu-abu.

ada kereta tadi malam,
membawamu membawaku
dalam diam, dan duduk yang berhadapan
menerka-nerka hendak ke mana

kereta menyimpan cerita,
tentang sisi kelabu aku dan kamu,
yang sempat hanguskan warna-warni anak kecil di dalam kita

lalu ajakanmu berbisik sehalus waktu,
yang berjalan lambat dalam rona hitam dan putih
sesederhana tautan tanganmu padaku seraya berkata :
mari jelajahi kereta ini.

kamu bukan punggung asing yang tidak kelihatan,
kamu adalah teman perjalanan;

menebak-nebak di mana kabel listrik ini akan putus,
menunggu sawah di balik gunung,
tertidur saat jendela berwarna hitam,
dan kemudian terbangun saat lampu-lampu kota bermunculan padanya

kita lalu menghitung bintang,
melawan kantuk,
mengeja cinta
yang menyelinap lewat celah antar gerbong.

cinta datang pelan-pelan,
seperti kereta abu-abu dalam mimpi.
karena mimpi tidak lagi punya warna,
semuanya sudah kembali ke dalam kita.