31.7.11

dan tak ada satu pun tetes air mata yang (bisa) lolos dari tarikan gravitasi, kala memori kembali (lagi) bertalu-talu mengeja sebuah tanda dan menggoda ketetapan hati dari bertahan untuk ikut berayun -atas nama rasa- ke depan juga belakang.

jarak.

ada rindu terkulum senyum bersimpul.
ada debar tergulung lelapnya memori.


lalu
ada tanya,
terlarut pekat jarak,
dan dingin yang kian menyeruak.

rumah.

adalah tempat(ku) berkumpul. dengannya.

dengan jiwa yang waktu itu, sudah lama sekali, menemaniku duduk-duduk di atas bangku kayu,
tepat di sampingku dan menggandeng tangan kananku,
sambil sesekali (bersama) melirik matahari,
memainkan kaki-kaki kami pada rumput segar habis hujan,

dan (lalu) bertukar sapa dengan Tuhan.

detoksifikasi.

aksara.
dan masa lalu.

sungguhlah bukan maksud menghapus jejak yang telah sekali terpatri, sekali yang semuanya adalah untuk selamanya. namun hanya sekadar mengendapkannya bagi semata (saja) hati.
sungguhlah memang baru terpikir, bahwa masa lalu bernama demikian karena seharusnyalah ia tinggal pada masa kapan ia menjadi cerita yang utuh, bukan sekadar kisah berkurung rumah kaca.


aksara.
dan detik ini.

karena benar adanya seribu jalan yang siap membentang di depan mata, jika pintu kayu di belakang telah terkunci sempurna tanpa ragu.
karena benar adanya pertemuan yang telah tergaris namun tak tertebak yang menanti tak jauh dari sepelemparan batu, jika perpisahan telah digenapi dengan air mata, dan senyum yang lapang.


aksara.
dan masa depan.

karena ia tak akan pernah habis menguak misteri hidup, juga tanya yang tak berjawab.
karena ia adalah saksi bisu masa depan, yang melayang-layang pada dimensi waktu dan lalu mendarat dalam ruang rasa yang hanya ada pada hari ini.


. . .

tidak bisa berhenti tersenyum, menyadari kekosongan yang memberikan ruang bagi para rasa yang belum lagi hadir. benarlah menulis adalah sebentuk terapi : jika ada emosi, rasakanlah, tuliskanlah, endapkan, lepaskan dan ikhlaskan ia menjadi bagian dari perjalanan yang membentuk seonggok diri, yang akan segera ditemui pada masa depan :)

30.7.11

[entitled]

a story about a boy and his first love.


a story about a girl and her bucket list.


the mysterious sand-clock in the attic.


the chimney and high-rises nine miles away.


a home for a folded map.


the journey, and how it started.


a star i called mars.


the knight, and the crystallized  time.


the plan and a dream-lapse.


-- this is called a bucket list. a different list from what i used to know.

29.7.11

hati, akhir-akhir ini.

ia berdenyut di luar kebiasaannya. katanya ia kewalahan menampung luberan yang seharusnya tertadah oleh kepala. ia kebingungan, tapi tidak bisa berkomentar, apalagi berkeberatan.

ia pun ikut sibuk seperti kepala : mengatur kotak-kotak beragam ukuran dengan anak-anak panah berseliweran, di mana di dalam kota-kotak tadi tersebar buah pikir ini dan itu dan pada anak-anak panah yang terselip di sela-selanya terarah asal dan tujuan. lalu lama-lama ada semacam rak buku dari besi yang ikut pindah ke dalamnya, menjejerkan buku ini di sini dan buku itu di situ. buku ini tentang ini dan buku itu tentang itu dan keduanya tidak boleh berada pada deret yang sama. dan pada akhirnya bertambah tangga-tangga penghubung hati dan kepala, juga tukang tata yang sibuk berlalu-lalang di atasnya, menjadikan keduanya ruang-ruang yang serupa (tapi tetap tak sama).

maka lupalah ia (hati) untuk merasa.

ada partikel-partikel layaknya debu di pojokan, yang sibuk memantulkan cahaya matahari, yang terabaikan. seakan kini terang dan gelap tak lagi jadi soal. belum lagi jelaga, ketakutan, keraguan dan ketidaksabaran yang tanpa sadar melingkupi ruang hati (dan mungkin juga kepala), menutupi setiap muka, tanpa peduli apakah itu dinding atau jendela atau (jangan-jangan) pintu.

maka perlahan menjadi kerdil ia (hati).

tak bisa lagi membedakan (kapan sebaiknya) berbagi dan menyimpan. tak bisa lagi membedakan mana mengeraskan kepala (sendiri) dan menghancurkan diri (orang lain). tak bisa lagi membedakan mana membesarkan hati (sendiri) dan mengecilkan hati (orang lain). membiaskan batas antara memikirkan rasa dan merasakan rasa.

hingga sampai ia pada titik : beranjak atau mati.


lalu pelan tapi pasti, kepala pun membebaskan beberapa biliknya. memberikannya pada kotak-kotak, juga rak-rak buku, yang tersebar dalam ketidakteraturan di dalam hati. 

dengan senang hati mereka kembali. menyisakan ruang kosong dalam hati. memberikannya waktu untuk merasakan semacam kehampaan. memberikannya waktu untuk tidak terganggu apapun kecuali ia sendiri. memberikannya waktu untuk membereskan semuanya, untuk menepis segala gradasi warna kelabu, untuk membuka kembali jendela-jendelanya. dan lalu membiarkan cahaya matahari masuk, membiarkan debu-debu di pojokan menari mengantarkannya ke seluruh penjuru ruang. mengembalikan gelap dan terang pada maknanya masing-masing.


hati, akhir-akhir ini, adalah seperti bumi : berpusing dan berkeliling.
menjelajah semesta, pada orbit yang telah ditentukan baginya. menyusup pada pagi dan malam, menjadikan kebahagiaan juga kesedihan, seperti gelap juga terang, bermakna dalam hadirnya.

dan segala sesuatu (sesungguhnya) adalah tepat pada waktunya.

hari.

tali-tali cahaya berjatuhan pada buaian.
pertanda pagi.
pertanda matahari menarikan perannya pada semesta, di titik ini.

tirai-tirai putih berkelebat bersama semilir angin.
pertanda dini.
pertanda nafas yang tak pernah lelap, tak pernah menyerah pada malam, apalagi hari.

28.7.11


Systems thinking is a discipline for seeing wholes. It is a framework for seeing interrelationships rather than things, for seeing patterns of change... 


– Peter Senge, The Fifth Discipline
the more you say i can't, the more i want to prove you i can. i definitely can. just you see. 

27.7.11

sebesar-besarnya api pada saat menjerang kopi,
selalu ada ampas tersisa kala sampai pada tegukan terakhir,
pada dasar cawan : hitam dan pekat,
namun tertinggal (pula) bersamanya, rasa manis gula yang terlarut.


- 27 juli 2011 4.05 -

[inspirasi]

Tanpa banyak komentar, video ini keren sekali :)

Empowering Women Rose Farmers - Wangsa Jelita, Indonesia



dinding, akhir-akhir ini.


Gambar diambil dari berbagai sumber.


adalah semacam cerita tertinggal dalam kotak harta karun, kristal yang tak terhargai.
perjalanan imajinasi dalam dunia maya, yang harus sementara tersimpan rapi, untuk suatu hari bisa dengan mudah diambil kembali.
tentang kota dan motif kotak-kotak.
tentang ruang makan berwarna biru dan ruang tengah berwarna musim gugur.
tentang ruang kerja benuansa tanah dan udara.
tentang kanal kota Amsterdam, jembatan Manhattan dan downtown kota Denver.
tentang High Lane, Central Park dan Central Perk.
tentang vespa dan rumah berhalaman rumput dengan mahoni, casia dan Cestrum nocturnum juga patrakomala dan bunga kertas.
adalah semacam cerita, yang sedang bergumul bersama waktu dan asa, dan juga rasa percaya yang hidup mati.

secret(ly) admire(ing) (you)

Saya memang punya cara-cara yang agak aneh dalam menjaga semangat saya ber-tesis demi tanggal sepuluh Oktober. Antara lain dengan menonton dorama Jepang, mengunduh partitur lagu-lagu klasik, makan sate Padang, makan sushi (khususnya salmon maki dan salmon nigiri), makan junkfood di persimpangan Dago-Siliwangi, minum kopi aroma, minum teh earl-grey, makan coklat, baca komik, menonton seri Harry Potter dan How I Met Your Mother. *kok banyak ya?* Dan tidak lupa juga dengan mengunduh entah berapa puluh (atau mungkin ratus?) dokumen jurnal atau makalah atau jenis-jenis publikasi lainnya yang (tampak) "lucu" (lucu hehehe, bukan hahaha apalagi hihihi). Saya pun jadi punya kegiatan kesukaan baru, membuat kategori folder untuk dokumen-dokumen tersebut. Dan karena kesukaan baru mengoleksi dokumen-dokumen ini, saya jadi punya cita-cita baru untuk mengunjungi kota-kota : Seoul, Songdo, Tokyo, Shanghai, Seattle, Hongkong, Sao Paulo, Curitiba dan Freibourg. Semoga suatu hari bisa kesampaian, bukan sekedar mimpi apalagi omong doang. *Bosen nggak sih dari entah kapan selalu bilang pengen ini pengen itu, tapi sampai hari ini masihhh aja nggak kesampaian. Tapi (untungnya) nggak sampai membuat saya kapok berkeinginan. Fitrah manusia mungkin memang begitu yaa...* Amiiinnn...

Lalu cara lainnya, adalah dengan mempunyai role model. Baik seseorang yang, katakanlah, sudah cukup mumpuni pada bidang yang saya tekuni, maupun orang lain yang mungkin bukan berasal dari bidang yang sama dengan yang saya tekuni, namun dia memiliki kualitas-kualitas yang saya harap bisa saya miliki nanti.

Judulnya secret(ly) admire(ing) (you) :) :) :)

Mengapa begitu? Karena memang umumnya orang-orang yang (diam-diam) saya kagumi ini memang tidak saya kenal secara langsung, tetapi sudah menjadi sosok publik yang cukup bernama, sehingga rasanya aneh kalau saya tidak mengenal mereka. Apalagi beberapa diantaranya berusia tidak jauh dari saya, beda satu-dua tahun atau bahkan satu angkatan *eh*.

Apa rasanya mengagumi satu dua orang secara diam-diam seperti ini? Rasanya seru. Seperti punya kecengan rahasia, tanpa rasa jatuh cinta *bagaimana pula bisa begitu???* Maunya, saya ceritakan semua yang saya kagumi dari orang-orang ini, tapi nanti malah buka rahasia. Nggak secretly admiring lagi. Nggak seru lagi. Dan nanti saya harus repot-repot cari cara baru lagi untuk menjaga si semangat. *cari alasan aja*

Kira-kira (saja) sih seperti ini :

a 100% dreamer and a 100% doer. strong sense of leadership. has a high profile yet stay modest. super-smart (the scores are unnecessary though). has a unique way of being polite, yet still could maintain to be witty (note that there's no stupid jokes nor cynicism and even sarcasm, things were stated clearly, as they were supposed to be, in a very good way). free, without being care-free. and slowly but sure, bold and prepared.

Kalau membaca berita tentang mereka, saya nggak bisa berhenti bergumam, "keren sekali sih mereka >.< padahal usia nggak beda jauh dengan saya, tapi pencapaian batinnya kok rasanya jauh sekali bedanya..." (oh, ya.. ini jangan diartikan saya tidak bersyukur dengan apa yang sudah saya capai ya, hanya rasanya mungkin seharusnya bisa lebih dari yang saya lakukan sekarang). Sekali lagi, mereka adalah role model bagi saya. Segala kelebihan mereka (yang saya yakin bisa mereka miliki saat ini karena kerja keras mereka yang tidak pernah saya tahu), adalah bukan untuk membuat saya mengeluh dengan berkata, "ihhhhh kok bisa sih mereka seperti itu??" atau "yahhhhh gimana donggg??", melainkan untuk menjadi pengingat dan bahkan dorongan keras bagi saya untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi.


Apalagi, mereka ini adalah laki-laki. Ganteng. Single. *eh*


Catatan 1 : kalau misalnya (sekali lagi, misalnya) saya menginginkan sosok calon pendamping hidup saya (nantinya), teman menjalani mimpi bersama, itu memiliki kualitas-kualitas seperti yang saya tuliskan di atas, kira-kira saya harus menjadi seorang pribadi dengan kualitas yang seperti apa ya agar dapat mengimbanginya? Tentu saja menjadi pribadi dengan kualitas yang sama dengan yang saya inginkan untuk dia miliki.


Catatan 2 : prioritas -- bereskan itu tesis, setelah itu baru pikirkan yang lain :p

21.7.11

kantuk.

adalah semacam tanda minta ampun kaki-kaki juga tangan-tangan yang tidak bisa diam.

ayunan badan, juga tutur kata dan garis bibir menjadi di luar kendali, begitu pun dengan sarunya batas antara cerita-cerita dalam kepala dan gerakan-gerakan nyata di bawah sadar.

kantuk,
adalah begitu raga tak (lagi) peduli akan ada dan tiadanya matahari sebagai penanda.
adalah begitu raga tak (lagi) berdaya atas desakan lelap untuk melarut bersamanya.

.

bermalam aku pada benakmu, 
menyisakan redup lampu di belakang, pada balik bayang-bayang kelambu jejaring cerita yang tak jadi. 


bermalam aku berbekalkan kantuk tiga malam,
menyisakan (hanya) jiwa-jiwa yang berlalu-lalang tetap terjaga.

20.7.11

pahit.

selamat pagi wahai hati yang tergigit pahit.
kulihat kepalamu lunglai seakan kau baru lolos dari sebuah badai.

tak apa. tidakkah kamu ingat pernah kubilang, sekali waktu, bahwa pahit itu adalah manis yang masih utuh?

ia memang tidak akan memanjakan hatimu dengan gula-gula aneka warna.
ia memang hanya akan membuat mukamu kebat kebit dengan seringai asam dan tatapan memelas.

tapi tidakkah kau tak tertipu dengan rasa manis yang buatan?
tidakkah pula rasa pahit itu memberikan ruang padamu untuk menyadari (kelak) hadirnya si manis dalam hidupmu?

silakanlah dirimu dilumat sempurna oleh si pahit, wahai hati,
karena tak ada jalan lain lagi menuju bahagia sejati yang kau cari-cari itu, tanpa melewati taring-taring tajam si pahit.

percayalah, tak ada jalan untuk mengenal semua rasa yang tersebar di muka semesta ini, selain dengan membiarkan dirimu merasakannya.


[suatu dini. secangkir kopi. dan serupa kejutan kecil rasa pahit yang bersembunyi di baliknya.]

18.7.11

konstelasi.

kupercayakan hatiku padamu, konstelasi.
bawalah ia berputar dalam kegelapan semesta. biarkan ia merasakan sensasi ketakutan juga rasa gamang yang sedikit-sedikit.

dan biar ia rasakan juga kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta,
lewat kesendirian dalam rengkuhan setiap jengkal angkasa.


[suatu juli. suatu pagi. suatu hari. suatu kali.]

dear friend i'm pretty sure now happier up there, happy birthday :)

thank you for remind me of how short life is. and how precious it is to waste on things those consumes our negative energy. and how should we just embrace things those will surely make us give out our most positive spirit. do, do, do. and never give up, is it?

life is good, don't you think so? and suppose you think that way while you were still here?
i'm sure.

.
and once again, happy birthday :)

16.7.11

oktober.

sekali-sekali lah.

pengen merasakan wisuda di bulan Oktober.

waktu jaman kuliah di tingkat sarjana, pada semester terakhir, saya memang sengaja memundurkan kelulusan satu semester lebih lambat. dengan sengaja dan sesadar-sadarnya memilih untuk diwisuda di bulan Maret, pada wisuda ketiga (atau kedua?) angkatan saya. semua karena pada saat itu saya memilih hal lain sebagai prioritas utama saya. dan saya memang tidak pernah menyesalinya. karena apa yang saya lakukan, yang deminya saya bersedia menunda studio terakhir tingkat empat, lalu menunda tugas akhir, yang buntut-buntutnya adalah menunda kelulusan itu sendiri, adalah hal yang sangat berharga (bagi saya) yang tidak akan bisa diganti oleh wisuda di bulan Oktober (waktu itu).

tapi, waktu itu, sekali saya memilih untuk wisuda di bulan Maret, saya pun mati-matian mewujudkannya. kasarnya mungkin seperti "Maret or never!" dan bukan sekali dua kali saya nyaris tumbang di tengah jalan. pasca sidang satu saya nyaris memutuskan untuk nge-drop tugas akhir semester itu. dan puncaknya adalah di hari pengumpulan gambar final (oh, ya, waktu itu saya adalah mahasiswa jurusan arsitektur :p) untuk sidang akhir. saat itu sudah siang, dan gambar saya masih jauh dari selesai. jelek banget pokoknya. padahal sore itu adalah batas akhir pengumpulan. dengan perasaan lesu dan takut, dengan hampir menangis, saya pergi ke area belakang studio, ke kavling di mana teman (yang lumayan sering) saya (curhati waktu itu) bekerja. kebetulan ada teman saya yang lain juga di situ. saya pun ikut duduk, dan dengan lemas berkata pada mereka, "saya mau nge-drop aja. nggak kekejar gambar-gambarnya." terlalu sesak untuk bisa menangis. dan nggak pakai jeda (oke, ini agak berlebihan), kedua teman saya itu langsung marah-marah. "hah? ngapain?? udah sejauh ini Wid! ayolah, dikit lagi." "tapi gambar-gambar gw ancur banget, potongan belom, nggak ada yang beres!" (ini hampir menangis betulan) "lihat punya kita! emang kita ada yang bener gambarnya? sama aja ancurnya Wid! tapi kita pasti bisa lewatin ini. tinggal hari ini. ayolah!" secara teori, harusnya waktu itu saya ngamuk-ngamuk dan justru semakin bulat tekad untuk mundur mengingat kedua teman saya itu, yang satu adalah yang paling jago sketsa seangkatan, dan yang satu lagi termasuk jejeran ahli program 3D. (dan saya malah memilih datang pada mereka??!!!) nggak percaya banget saya gambar-gambar mereka se-ancur saya. tapi anehnya tiba-tiba saya merasa ada yang mendorong saya untuk kembali ke kavling saya, menyelesaikan gambar-gambar saya sebisa-bisanya. saya pun bilang, "baiklah." lalu teman saya si jago sketsa bilang, "nanti kita print sore-sore aja, mepet nggak papa, tapi kita kumpulin hari ini juga. kalau memang gambar masih kurang, kamu bawa aja pas sidang." saya pun mengangguk, lalu kembali ke kavling. dan hajar bleh!

hampir enam tahun dan saya masih mengingat dengan persis kejadian itu. kira-kira apa yang akan terjadi kalau waktu itu saya tidak mendatangi mereka, dan sebaliknya keluar studi diam-diam dan pulang ke rumah tanpa menyelesaikan tugas akhir saya. mungkin cerita yang hari ini saya ketik akan berbeda.

tapi, sekarang, entah kenapa, saya merasa bahwa waktu itu, apapun yang terjadi, saya pasti akan bisa melewatinya. saya pasti akan mengumpulkan gambar-gambar final itu, separah apapun bentuknya. saya pasti akan maju sidang akhir. saya pasti akan wisuda di bulan Maret.

karena waktu itu saya menuliskan ini : "pokoknya saya mau wisuda di bulan Maret! harus! harus!" (kurang lebih begitu lah) dan terjadilah seperti itu :) tentu saja karena Tuhan menyetujuinya, semesta membantu saya lewat dosen pembimbing yang sangat sangat sangat sangat sangat suportif, lewat teman-teman seperjuangan satu studio, lewat dua teman di kavling belakang (yang kalau saya pikir-pikir sekarang, sempat ya mereka marah-marah pada saya padahal seharusnya mereka juga pusing dengan gambar-gambar mereka sendiri) dan tentunya lewat doa kedua orang tua saya yang bersedia melihat dan menghadapi emosi anaknya yang selabil anak remaja baru gede selama masa-masa tugas akhir itu.

banyak teman-teman saya yang bilang : kalau punya mimpi, tuliskan! dia akan jadi doa, yang akan dijawab walau bukan dalam waktu yang kita harapkan atau kita rencanakan. karena itu, kali ini saya akan menulis :

"saya mau wisuda di bulan Oktober! harus! harus! Oktober! Oktober! Oktober!"

dan kali ini, berbeda dengan lima setengah tahun yang lalu itu, saya tidak punya teman-teman saya waktu itu. saya tidak punya tempat untuk 'bermanja' "aduh...mau nge-drop aja..." nggak ada yang mungkin bisa memarahi saya (oh, dan kali ini rasanya saya juga nggak akan membiarkan diri saya dimarahi sih :p) we're all already a grown up now. we took decisions for ourselves. we are now walking our different path of life, on newly-little-family, on career, on study, on life itself. we took our own responsibilities for things we chose. what we might share now, maybe is a short shift of coffee break while exchange stories about how each of us tackle all the matters on our own. and on that session, i wish i could proudly tell them real things, not mere "yahhh gitu dehh, gini-gini aja gw mah..." :p

but life with all its scratches here and there, is good. 
it's about time for me to be good to life, don't you think so?


jadi, sekali lagi :
"saya mau wisuda di bulan Oktober! 
harus! harus! Oktober! Oktober! Oktober!" ...amiiinnn...

ini adalah janji. dan janji itu, seperti juga janji bulan Maret, harus ditepati. (ayolah, saya ingin sekali jadi wisudawan di wisuda yang katanya paling rusuh dibandingkan wisuda-wisuda lainnya di kampus gajah itu ;) *pengalaman jadi juru catet, juru potret, dan juru wara-wiri di wisudanya si gajah selama hampir empat tahun*


ps : and my dear fellow 2001, you don't have any idea of how much i miss us back then :)

14.7.11

semacam bimbang.

kenalkah kau padanya?
ia yang mengajakmu memijak udara, tanpa berdasar percaya pada bumi.

tidakkah lalu wajar jika bumi menyimpan kecut akan bongkahan besar rasa percaya yang dititpkan melalui akar-akar trembesi?

kenalkah kau padanya?
ia yang membersit sekedar pening bersalut penat, berujung ragu pada keberadaan semesta.

tidakkah lalu wajar jika benak sekenanya melukiskan cabang ke sana sini,
toh mereka semua akan patah di akhirnya, lalu mati dan membusuk, lalu hidup lagi?

kenalkah kau padanya?
ia bimbang. ialah yang mengawang-ngawang rasamu di udara,
menjadikannya hanya sekedar cerita yang lalu habis terkikis udara.

menjadikan rindu sebagai suatu yang hanya bisa dibiarkan berkibar-kibar liar tanpa bisa direngkuh,
karena udara telah membebaskannya bersamaan dengan waktunya mengikis habis setiap cerita yang belum sempat tertoreh.

13.7.11

"What labels me, negates me.” — Friedrich Nietzsche.




first thing first, please do a background check. *that's  the first chapter, even in any kind of writings.*


i don't really mind being labeled since it'd be the person-who-do-the-labeling's deal with God, not me.
and at most of my times, i don't like to feel furious about anyone or anything, moreover to (have to) express it. that's the worst way ever to waste my energy. 


so if labeling me with whatever satisfying (one else, not me) gives (one else, not me) pleasure, please just do so. since whatever the sayings were, i don't give a single damn.

12.7.11

kopi hitam. air mata. Cestrum nocturnum.

[kopi hitam]
Kira-kira  berapa kali nama teman baik kala gelap menyapa ini harus kusebut? Karena nyata hanya pahitnya yang mampu mengkerucutkan setiap kelabu yang membayangi hati, menggelapkannya, dan sayangnya bukan meneduhkannya. Terkerucut sang kelabu, hingga ia kebyar seperti kembang api dalam labirin. Lalu luka pun sembuh. Begitu saja. Mungkin ada mantra yang bercampur bersama bulir-bulir hitam yang terjerang dengan api sedang. Mantra yang begitu saja tertiup oleh gemintang. Mantra yang mewujud dalam rasa asam yang tertinggal di dalam perut, yang mengurai setiap serpih perih yang menempel pada dinding lambung. Hingga tinggal bersisa pahit pada pangkal lidah, menahan barisan yang berderet siap dengan bidikan panah berapi. Ia membuat bukan hanya mata jadi berjaga tapi juga rasa jadi siaga.

[air mata]
Hal-hal yang paling menyakitkan, salah satunya adalah saat aku tahu betul aku ingin menangis. Ingin saja. Walau mungkin bukan butuh. Namun nyatanya tak ada air mata yang bisa keluar. Ini tentu bukan pekerjaan sang kopi hitam, karena uapnya cukup untuk membuat kaca di depan mataku berembun, dan pastinya (akan) cukup pula membuat mata di belakangnya berair. Mungkin kali ini adalah aromanya. Aroma kopi hitam tadi, yang menyelusup lewat hidung, naik ke kepala, mengerubungi pusat perintah untuk menahan turunnya air yang merupakan lepasan segala sesuatu yang busuk itu. Iya. Itu air mata. Busuk. Jangan kau debat. Busuk karena ia adalah penyaring segala belai juga tikam yang datang pada hati. Hanya yang bisa menembusnyalah yang akan menjadi bahagia sejati. Maka dari itu, tentunya adalah salah satu hal yang menyakitkan saat aku ingin menangis tapi tak ada setetespun air yang turun, pun hanya dari sebelah mata. Sakit. Adalah saat tak bisa menyaring mana belai mana tikam, karena satu dari dua, yang manapun dapat matikan sang rasa.

[Cestrum nocturnum]
Adalah sebangsa pohon bunga yang ada di dekat pagar rumah. Bersahabat dengan setelah gelap dan juga musim hujan. Harumnya merangkul udara, menenangkan dan mengusir mereka yang (sengaja) tak terundang.

Demikian, bukankah tak mengapa berjaga hingga dekat saat pagi datang? Bukankah (juga) tak mengapa menggelincir pada genangan sisa hujan?

Karena nyatanya ada keindahan yang menyaru hitam pembungkus langit, juga menyaru bening pembayang setapak berlubang.

. . .

kopi hitam. air mata. Cestrum nocturnun.
pada duabelasjuliduaribusebelas,
pada masa pahit tak lagi bisa menjadi pengurai kusut pikir dalam kepala dan nyeri pada rasa yang hampir mati.

10.7.11

seumpama para peragu yang bertempur dengan pilihan, sungguh benci ia pada jalan bercabang. 


seumpama para pelukis yang bersikukuh membaca cahaya, sungguh benci ia pada barat yang menelan matahari.


dan.


seumpama para pencinta yang berderap dalam pencarian sepanjang bilangan masa, sungguh benci ia pada dentang keduabelas di tengah malam. terhentilah setiap derap, dan pupuslah harap-harap sang cinta untuk ia temukan.
hello there boy, how's everything?
you're doing just good, right? things would have never been any better, no?

it's been a one full year. one exact year from that awkward homesick. does time run this fast too up there? i really wonder. down here, things were never seem to change, yet i do know they won't ever be the same for the rest of times. back for good is a mere song that nothing would really ever come back, would they?

you know all your friends miss you, don't you?

be good (up) there :)


ps1 : i'm sorry for not being good at words with you. i've never been, indeed :(
ps2 : i don't know why, but i've really wanted to tell you this. you know, i missed (again) the third 'stop' of getting married. remember your guess that i'd get married at the second 'stop'? well, you got it wrong, boy ;p
sebagaimana langit berbayang pada matamu, meredupkan sisa cahaya pagi yang terperangkap benak, tak berukur rindu atas jalinan hitam atas putih. 


juga atas tangan-tanganmu yang sempurna memintalnya.

9.7.11

(lagi-lagi) berdamai.

dengan diri sendiri. masa lalu. dan juga perbedaan akan cara pandang terhadap sesuatu antara kita dan orang lain.


seperti berlari di atas paving block yang penuh lubang, di mana dia tertawa dengan sepatu hak tinggi lima senti dan aku tersenyum lebar dengan sepatu kets putih.


*pret!* *mabok laporan*

6.7.11

thankfully, dreams can change.

Doing some strolling around a certain social network site, and been taken here and there, and I found this funny and somewhat enlighting. Here's some stabbing-the-mind lines :

"Thankfully, dreams can change. If we’d all stuck with our first dream, the world would be overrun with cowboys and princesses. So whatever your dream is right now, if you don’t achieve it, you haven’t failed, and you’re not some loser..."



"Life is an improvisation. You have no idea what’s going to happen next and you are mostly just yanking ideas out of your ass as you go along. And like improv, you cannot win your life..."

Yep, that's one inspiration, Stephen Colbert. Dream, in case you can achieve it doesn't make you a winner, since the journey towards itself is an improvisation. And by improvisation, there's no win nor loose. And that what life is about.





ps : 
Yet, my dreams hadn't changed, neither for better nor for worse. And for things anybody else had said, I don't give a damn. As tomorrow things might turn differently on their own.

5.7.11

light(s) of the day.

"What labels me, negates me.”
[Friedrich Nietzsche]
.
“Time, which changes people, does not alter the image we have retained of them.” 
[Marcel Proust]
.
“Love is not a because, it’s a no matter what.” 
[Jodi Picoult]
.
“If you can dream it, you can do it.” 
[Walt Disney]

4.7.11

pasar malam.

adalah tempat riuh rendah rakyat berpesta. bagian lain kota kelahiran yang tak terjamah langkah dan pengetahuan. berlatar semacam hutan yang mati suri di waktu malam, mengabaikan denyut di samping-sampingnya. tak bisakah ia tetap terjaga cantiknya sekalipun matahari terlelap. dan juga bangunan-bangunan tua yang sibuk kukira-kira berapa bilangan usianya. tak apakah jika (misalkan saja) mereka tidak ada.

ada jalanan yang penuh orang-orang sibuk menawar sana sini. satu dua wanita bergunjing di depan etalase. pria-pria beradu catur. dan tak terhitung anak kecil yang berlari di antara warna-warni barang dagangan.

harum bercampur. antara sisa mandi sore, buah-buahan segar, aneka santapan yang bahkan beberapa tak kutahu namanya. juga sesekali tumpukan buku bergaris dengan aroma karbon di kanan kirinya.

perbincangan dan awar menawar. antara dua orang yang saling kenal. atau antara dua orang yang saling asing namun pada lorong itu seakan adalah teman lama.

mungkin ada rentang pada malam di mana semua orang berpesta. merayakan waktu beristirahatnya sang matahari, merayakan waktunya untuk sedikit mengendurkan urat kepala.

tak ada yang peduli akan angin dari arah utara (dan sesekali bergantian dari selatan) yang membuat mereka terbatuk, sedikit sesak dan pelan-pelan mengendapkan uap dalam paru-paru mereka.

siapa yang peduli?
selama malam ini semua sesuai dengan rencana : matahari undur diri, lampu-lampu murahan berlomba-lomba menyala paling terang, gerobak-gerobak (dan bahkan mungkin mobil-mobil angkut) mulai dijajarkan pada tempat terpesan. dan juga orang-orang berlalu lalang seakan malam itu hanya milik mereka.

. . . . . . .

pasar malam.

serupa denyut nadi yang satu-satu : kencang. namun pura-pura sajalah tak terdengar.
serupa kunang-kunang di atas sisa-sisa alang : kuning terang. namun pura-pura sajalah tak terlihat.
serupa kehidupan yang (mungkin) begitulah pada (hampir) seluruh bagian kota namun sayang tak tergaris dalam ingatan para pemangku :

maka jadilah ia ada dan juga tiada.
in my-not-so-humble-opinion :

leader is not the opposite of follower, as to lead is not the same as to be followed. trend-setter is not the opposite of trend-victim, as to set your own style is not the same as to make others' style a crap.

both leader and trend-setter stand alone. they did not depend on others to be the way they are right now.

but, of course, they did need others. 


they need to see them. 
and then, if anything, they decided go separate ways on their own.

i miss us.

at times like this, i miss them. 
i miss us at that certain special periods.

but they're now been crystallized. 
beautiful.
and been put on "to-be-seen-only-not-touched" display.

that's why every memories count. that's why every single piece of them is precious.

.

ps :
dears, how's our suppose-to-be-the-first-ten-year reunion going? :D

berdamai. mari, diri.

menerima batas diri (dengan keyakinan bisa menembusnya), mengasah kemampuan beradaptasi dengan berbagai situasi, melepaskan hal-hal yang memang berada di luar kapasitas diri dan merelakannya menjadi sebuah kelemahan yang harus diimbangi dengan kekuatan lainnya, memahami sebenar-benarnya perbedaan antara kritik membangun dan cela yang menjatuhkan, mengerti seutuh-utuhnya beda kawan dan (ternyata) bukan kawan. 
berdamai dengan segala emosi dan risau, berdamai dengan segala yang "seharusnya nggak gitu!!!" menurut hanya kepala sendiri, berdamai dengan diri sendiri, dari apa ia terbentuk dan atas dasar apa ia (akan) menjadi.


dan lalu menyadari bahwa hanya Tuhan sebaik-baiknya tempat mengadu, karena Ia adalah Sang Maha Penjaga Rahasia yang sejati.


-- sebuah pelajaran (berharga) dari salah satu fase (dadakan) tesis yang super singkat tapi membuat prasangka menjadi timbuh sesubur-suburnya sehingga (mungkin) jika tersentil sedikit saja, maka saat itu saya adalah bom waktu yang sedang meledak --

2.7.11

desir.


berdesir hati karena bimbang, berbilik itu jantung, bukan ia.
dan apalah tanda dari arah (tiupan) angin di puncak bukit, karena mereka bercampur layaknya desau yang dengungkan kuping, lalu biaskan rasa yang masih juga remaja.

berdesir hati karena gamang, berketetapan itu tuhan, pemiliknya, bukan ia.
dan apalah tanda dari prasangka yang semata logika, karena mereka tak bernurani layaknya risau yang gerogoti cita, lalu rubuhkan mimpi yang masih juga istana pasir.

seraya.

seraya, aksara dan cahaya.

di Timur,
mata-mata jadi saksi merapatnya kesadaran pada permukaan,
itu adalah sejenak pada akhir lelap.

jemari dengan ruas-ruas langsing dan buku-buku tajam sibuk menuai aksara sebelum mereka membusuk di pojokan sebentuk ingatan.

di Barat,
kaki-kaki sebagaimana biasa memperlambat langkah, dan lalu terseok.
seperti ia pun kehilangan cahaya yang tadi adalah arah.

dan mata sibuk mengejap, mencoba-coba membaca lukisan jejak tarian cahaya matahari, sebelum mereka lalu lenyap serupa berkas matahari yang berjemput malam.

. . .

pada langit,
semburat pun bertukar rembulan.

seraya bimbang yang terlahir bersama hilangnya matahari dari jangkauan pandang.
seraya detak tak beraturan yang menyesakkan logika.

pada langit,
rembulan pun (sesekali) perlu nampaknya berlindung mendung.

1.7.11

kira-kira satu semester yang lalu, dalam catatan harian saya, saya menulis begini :

"(semester depan, sambil tesis, saya akan sambil belajar masak, yoga, dan menyupir, supaya sabar, tenang dan fokus, dan senang di akhirnya)"


komentar saya saat ini : rencana tinggal rencana, mimpi aje lu...