27.11.15

jatuh rindu.

mungkin perempuan dalam kepalaku sedang jatuh rindu.
pada kelebat jejak langkah laki-laki,
yang mulai beranjak dari sudutnya.

laki-laki yang menari bersama debu :
pencinta sejati hari ini.

mungkin perempuan dalam hatiku pun ikut berdebar,
dan tangan-tangan penuh ragu,
tanpa kuasa menahan kaki-kaki yang pasti menurut pada angin.

kaki-kaki yang dulu terjulur di samping,
sambil bersama menyimak sepi.

tidakkah cerita yang bertukar lewat jalinan hening
adalah rumah bagi pejalan seperti aku dan dia?

biarlah perempun dan laki-laki dalam kami
yang mengeja akhir cerita nanti.

22.11.15

di balik kelambu.

ia pulang,
bermandikan sisa petang belakang rumah.

siulannya serak, mengumpulkan suara yang bercerai dengan lagu semusim.

aku lelah.

lalu tertungkup ia di atas perahu.
yang tambatannya lepas oleh purnama,
dan mengalir mencari hulu.

jejaknya hilang.

bayang-bayang bintang berlari pada muka air,
yang riaknya gelisah,
ketakutan oleh pekatnya malam.

ia di sana.

aku pulang,
dengan sampai jumpa yang tertinggal di ujung lidah.

dan mata-mata ingin tahu,
di balik kelambu.

[catatan] menulis adalah.

Selama hampir sepuluh tahun, menulis adalah suaka bagi saya. Menulis adalah upaya menjaga hati dan pikiran saya agar tetap, setidaknya, tidak keruh oleh debu yang tak kenal batas ruang. Saya memang bukan seseorang yang pandai menulis, hanya saja sudah terlanjur jatuh cinta dengan caranya menenangkan sebagian dari diri saya. Sejak entah kapan, saya pun sadar, saya tidak bisa tidak menulis. Rasanya lebih tenang memiliki karya yang tidak sempurna, ketimbang rasa atau pun ide yang membusuk dalam ilusi kesempurnaannya.

Sekalipun banyak yang mengatakan saya adalah orang yang cukup tertutup, saya sendiri tidak merasa demikian. Saya merasa cukup membuka diri saya. Secukupnya. Dan cara ternyaman bagi saya untuk melakukannya adalah dengan menulis. Puisi kebetulan adalah bentuk yang saya pilih untuk mewadahi hampir sebagian besar percikan diri saya yang ingin menyeruak menyapa apa-apa yang ada di luarnya. Menulis, dalam hal ini, adalah jalan paling aman bagi saya untuk membuka sebagian diri. Dan tentunya paling menyenangkan. 

Setiap kali saya merasakan gejolak emosi di dalam diri, tangan saya serta merta mencari pensil dan kertas, atau papan ketik dan layar. Entah itu emosi kanan atau pun kiri; senang, jatuh cinta, sedih, marah, patah hati, kecewa, bangga, malu, kesal, dan mungkin jenis-jenis emosi tak bernama lainnya. Menulis adalah sebuah bentuk keseimbangan yang mungkin sudah sedari awal menempatkan dirinya dalam konstruksi sikap seorang saya.

Saya sangat menyukai kondisi di mana segala sesuatunya ada dalam kendali saya. Rencana dan eksekusi dan hasil. Sayangnya, segala sesuatu tidak suka berada di dalam kendali saya. Menulis, juga, bagi saya adalah sebuah pelajaran tentang memilih bagaimana saya bersikap terhadap diri saya sendiri. Apakah saya akan bersikap keras atau lunak, atau di antaranya, atau terlalu daripadanya. Bisa saja saya memilih untuk memaafkan diri sendiri. Bisa jadi pula saya memilih untuk menyimpan dendam dan bom waktu terhadap diri sendiri.

Menulis adalah menjinakkan ketakutan akan gejolak manusiawi yang sedianya teman perjalanan mencari jati bagi diri. Sebaiknya ia menjadi bagian dari hari, sependek apa pun.

Karenanya, adalah hal yang cukup menyakitkan ketika perlahan ia tak sengaja terlepas, dan kadang terlupakan. Ada bagian dari sebuah perjalanan tanpa henti yang menghilang. Perjalanan tak lagi pernah genap. Bukan sempurna, namun genap. Ia menjadi terlalu ganjil untuk dianggap lumrah.

Sebelum semua terlanjur lewat. Sebelum hujan terbawa angin, dan debu-debu berganti tanpa berjejak, ada sedikit usaha untuk mengenggamnya kembali. Sedikit-sedikit. Perlahan-lahan. Hingga nanti, semoga, ia menjadi penuh dalam pelukan seperti sedia kala.

Saya menulis, karena itu saya dapat menuang sedikit setiap jati dari diri, dan membiarkannya berkelana bersama waktu.