27.1.11

mahoni.

lalu harus bagaimana lagi aku melepasmu.
juga kartu-kartu mimpi yang membuntutimu dari belakang.

.
masa depan itu bukan cerita, tapi adalah coretan rindu tuhan pada manusia-manusia yang diturunkannya.
yang ia gores hati-hati di balik lindungan telapak tangan yang satunya.
yang ia lindungi rapat-rapat dari jiwa-jiwa yang lupa akan hari ini.

.
lalu harus bagaimana lagi aku melepasmu.
juga masa depan yang masih menjadi surat cinta rahasia tuhanku,
yang dititipkannya, mungkin padamu atau padanya

agar aku bisa bahagia dengan kesendirianku, sejeda, atau selamanya.

.
seperti juga mahoni tua ini.
kenangan adalah selamanya, juga kamu, yang menyaru jadi daun-daunnya.

.

lalu rumah kaca di belakang punggungku, kembali, untuk terakhir kalinya,
pantulkan punggungmu yang menjauh. punggung, yang sekali waktu dulu, pernah menjadi yang tercinta.

19.1.11

hiatus.

hiatus. for a while. because it needs more than a break.

kelabu.

kelabu.

bawa aku ke kaki pelangi,
tempat hitam dan putih milikmu berakar.

18.1.11

i should've known from the very beginning 
that it was never you.
how could i've thought i had already found you.


you are still thousand miles away.

16.1.11

death, and all his friends.

This is some part from the text of the Commencement address by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, delivered on June 12, 2005.

...

My third story is about death.

...

Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything ? all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

...

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.


...

if you know that you'll die tomorrow, is it possible for you to think of leaving and left nothing behind at all, none even love for those beloved ones? don't get me wrong. by love, it means to put the most important relationships with all the beloved ones on top of the priority. it also means to always give the best shots in every little pieces we do as if it would be our very last masterpiece. and never forget what we've dealt with our Great Creator at the very first time we got alive : play our role well and completely.

umur, kematian, cita-cita, restu dan patah hati

Kira-kira pada waktu yang sama minggu lalu, saya menerima kabar kepergian seorang teman seangkatan saya semasa kuliah yang saat ini sedang berada di Rotterdam. Padahal belum juga genap enam bulan sejak kepergian seorang teman seangkatan yang lain karena jantung. Padahal baru saja pada hari sebelumnya kami menerima kabar bahwa kondisinya, yang memang dalam keadaan koma akibat asma dan hipotermia, sudah agak membaik dan sedikit-sedikit mulai merespon teman-temannya di sana. Namun ternyata Tuhan sudah punya kehendakNya sendiri. Setelah melewati masa-masa kritis, akhirnya pihak rumah sakit pun memutuskan untuk mencabut alat bantu pernafasannya. Seorang lagi teman kami mendahului kami.

Begitu mendapat berita tersebut pada pagi hari Sabtu seminggu yang lalu saya tidak bisa berkata-kata, juga tidak bisa percaya. Saya hanya bisa diam. Dan mungkin berpikir sedikit lebih banyak daripada biasanya dan merasa jauh lebih hampa daripada biasanya pula. Milis angkatan saya mendadak ramai dengan ucapan belasungkawa dan update-update berita mengenai perkembangan kondisi almarhumah teman kami di sana, yang alhamdulillah di sana ada teman-teman yang sangat luar biasa yang ikut membantu pengurusan jenazah, termasuk perihal kepulangannya ke tanah air.

Di tengah-tengah ucapan bela sungkawa tersebut, ada seorang teman saya yang menyempatkan diri berbagi tentang konsep umur yang ia dengar dari sebuah khutbah jumat, yaitu tentang teladan Umar, seorang pemimpin yang bersih, yang tidak mau menggunakan harta negara sedikitpun untuk kepentingannya dan keluarganya. Dikisahkan, suatu hari ketika anaknya meminta untuk dibelikan baju karena sering diejek di sekolahnya gara-gara mengenakan baju yang penuh tambalan, Umar pun, begitu bersihnya ia tidak mau meminjam uang negara, memutuskan untuk meminjam uang ke rentenir demi bisa membelikan baju anaknya itu. Jika berhasil mendapatkan pinjaman tersebut, ia berencana akan membayarnya dengan gajinya bulan depan. Namun sang rentenir tidak bersedia meminjamkan uang pada Umar. Ia justru berkata, kurang lebih, seperti ini : "Kamu yakin, Umar, bulan depan kamu masih hidup? Kalau tidak, bagaimana kalau setelah kamu berhutang, lalu bulan depan kamu sudah tidak ada? Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan hutangmu di hadapan Allah?" Umar pun batal meminjam uang, lalu kembali ke rumah dan meminta maaf pada anaknya karena tidak bisa membelikannya baju baru saat itu juga.

Teman saya kemudian bilang, kisah tersebut banyak mengingatkannya akan cara menjalani hidup. Katanya, bayangkan kalau besok kita mati, lalu apa artinya kerja keras kita selama ini untuk mengejar cita-cita kita, apapun itu? Karena setelah kita mati, kita tidak akan bisa merasakan kecewa atau sedih bahwa kita belum mencapai cita-cita kita itu. Yang kecewa adalah mereka yang bisa benar-benar melihat potensi masa depan kita dan melihat potensi itu hilang begitu saja. Yang sedih adalah teman-teman dan sahabat-sahabat kita yang tahu bahwa mereka tidak akan bisa lagi bertemu kita. Dan yang paling terluka adalah keluarga yang kita tinggalkan.

Dia juga bilang, banyak di antara kita yang saat ini hidup di kecepatan ultrasonik, dalam mengejar pertumbuhan ekonomi juga ilmu pengetahuan. Mewujudkan cita-cita demi sebuah kemjuan memang membutuhkan resiko. Ada banyak hal yang perlu dikorbankan. Mulai dari harta, waktu, tenaga dan kesehatan, dan bahkan hati hingga nyawa. Bukan berarti lalu kita tidak perlu bermimpi dan bercita-cita. Tapi lebih pada mampu menarik batas yang jelas. Mengutamakan kemajuan tapi lalu dikenal sebagai seseorang yang tidak peduli dengan keluarga, teman dan lingkungan sekitarnya, kita tidak mau seperti itu bukan?

Tulisan teman saya ini benar-benar menampar saya. Tepat setelah saya berpikir, bahwa harga sebuah perubahan dan kemajuan adalah segalanya, apakah kita kehilangan kesehatan kita, kehilangan teman-teman dan keluarga kita atau bahkan kehilangan diri kita sendiri. Nyaris saja saya berpikir semua hal tersebut wajar adanya dalam usaha mewujudkan sebuah cita-cita. Tapi ternyata saya salah. Saya lagi-lagi lupa, saya tidak hidup sendirian.

Seorang teman yang lain mengatakan, bagaimanapun tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti bermimpi dan bercita-cita. Dia bilang, saat kita bermimpi dan berusaha mewujudkan cita-cita kita, kedua orang tua kita pasti akan berdoa untuk kita, yang artinya mereka ikhlas (ridha) untuk kita. Dan saat mereka ikhlas, maka Tuhan pasti juga akan meridhai perjalanan kita. Dan setiap kehendakNya, sekalipun itu berbeda dengan harapan kita, pasti adalah yang terbaik bagi kita dan juga orang-orang yang mencintai kita dan kita cintai.

.

Bagi saya akhirnya semua adalah sama pentingnya, diri kita sendiri, keluarga dan teman-teman, juga mimpi dan cita-cita kita. Semua berujung pada sebuah kalimat, "bagaimana jika saya mati besok?" Bagaimana saya ingin orang mengingat saya? Bagaimana hubungan yang akan saya tinggalkan dengan orang-orang yang mencintai saya dan saya cintai? Apa saja yang sudah saya lakukan untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita saya? Bagaimana mimpi dan cita-cita saya bisa membawa kebaikan bagi lingkungan, negara dan agama saya? Apakah saya sudah menjalani kehidupan sesuai dengan yang digariskanNya untuk saya? Apakah saya sudah melakukan pekerjaan saya dengan sebaik-baiknya dan sekuat-kuatnya? Apa saya sudah berusaha semampu saya untuk 'memanggil' jodoh yang telah disipakanNya untuk saya? Apakah bagaimana saya mati nantinya akan benar-benar sesuai dengan bagaimana kematian telah ditentukanNya untuk saya?

Dan sesungguhnya rahasia Tuhan tidak pernah terbatas angka dan tidak pernah pula terkungkung oleh berbagai syarat.

.

Semoga Tuhan berkenan menghapus segala dosa kedua teman saya dan meridhai setiap yang telah mereka lakukan sepanjang hidupnya dalam mewujudkan mimpi dan cita-cita, yang juga telah memberikan makna bagi keluarga, teman-teman dan lingkungan mereka.

14.1.11

lagu hujan

.
pada pagi ia berderap.
di depan pintu hati, berpalang batu.
tak ada beda antara ketukan tumit sepatu, atau buku-buku jari pada pintu.

..
ada irama yang datang bersama bau tanah,
berlari bertelanjang kaki,
dan sesekali menghindari cacing-cacing yang menggeliat melihat matahari pergi sebentar.

...
beberapa jeda dan alam ikut terdiam,
mendengarkan lagu hujan
yang deras sesaki lorong hati yang sunyi.


.
hujan bernyanyi untukmu, lalu memanggil hari untuk menepuk kepalamu
dan berkata, "itu matahari cuma sembunyi sebentar saja.
tapi coba lihat, awan tidak bertugas dengan baik, bukan?
ambil saja tali cahaya yang berhasil lolos darinya.
ia, bagimu, tetap matahari."
A professional writer is an amateur who didn’t quit. [Richard Bach]

13.1.11

[music] from above

(Ben Folds feat. Nick Hornby)

They even looked at each other once
Across a crowded bar
He was with Martha
She with Tom
Neither of them really knew
What was going on
Strange feeling of never
Heartbeats becoming synchronized
Staying that way forever
But most of the time
It was just near misses
Air kisses
Once in a book store
Once at a party
She came in as he was leaving
And years ago at the movies
She sat behind him
Six thirty showing
Of While You Were Sleeping
Never once looked around

It's so easy from above
You can't really see it all
People who belong together
Lost and sad and small
But there's nothing to be done for them
It doesn't work that way
Sure we all have soulmates but we walk
Past them every day
Oh no

And it's not like they were ever actually unhappy in the lives they lived
He married Martha
She married Tom
Just this vague notion that something was wrong
An ache, an absence, a phantom limb
An itch that could never be scratched

It's so easy from above
You can't really see it all
People who belong together
Lost and sad and small
But there's nothing to be done for them
It doesn't work that way
Sure we all have soulmates but we walk
Past them every day
Oh no

Neither of them knew what was going on
The strange feeling of never
Heartbeats becoming synchronized
Staying that way forever

And who knows whether that's how it should be
Maybe a ghost lives in that vacancy
Maybe that's how books get written
Maybe that's why songs get sung
Maybe we owe the unlucky ones

It's so easy from above
You can't really see it all
People who belong together
Lost and sad and small
But there's nothing to be done for them
It doesn't work that way
Sure we all have soulmates but we walk
Past them every day
Oh no

Maybe that's how books get written
Maybe that's why songs get sung
Maybe we owe the unlucky ones


.
Sure we all have soulmates but we walk Past them every day Oh no
Maybe that's how books get written
Maybe that's why songs get sung
Maybe we owe the unlucky ones

..
and you should check the video. i heart it. but not the very much terrible ending.

8.1.11

i never thought life could be that short. we're still so young, too young, aren't we, God?
can't I question You?
i still can't imagine that two of my classmates are already doing a hangout in heaven,
and thus can't join us on ground in our reunion, later...

is this your way of telling me, of telling us, that life, indeed is so short?
that life is never be more than a transit?

.
this is my second grieve of loosing a classmate.
we haven't even had any chance to share stories about our lives lately.
i haven't even asked her to tell me stories about rotterdam.

you'll be missed, my friend.
may you rest in peace and now breath lightly.

5.1.11

semakin saya menulis, semakin tahu saya akan kekurangan saya dalam berbahasa dan berlogika, juga mungkin dalam berempati, tapi semakin tidak mau pula saya berhenti melakukannya . . . berhenti menulis maksudnya. rasanya ini perjalanan saya, untuk menjadi lebih baik dalam ketiganya.

umur

Saya suka matematika. Tapi saya tidak begitu suka dengan angka-angka. Apalagi saat mereka mulai main kejar-kejaran, seperti yang saat ini sedang ada di belakang saya : umur.

Dulu, waktu masih kecil, saya selalu menganggap bahwa waktu berjalan dengan sangat lambat. Bahwa selamanya saya akan menjadi seorang anak kecil. Saat itu, masa depan, atau sosok-sosok yang kelihatannya lebih tinggi dan besar dari saya itu, rasanya masih sangat jauh. Dan bahkan, sekali waktu saya menganggapnya tidak akan pernah bisa terjangkau oleh saya. Saat itu, rasanya sebuah kehidupan akan berlangsung untuk selamanya.

Dulu, waktu melewati usia belasan, saya menganggap waktu tiba-tiba menjadi sangat labil. Kadang dia berjalan super lambat. Kadang saya merasa dia berlari hingga melanggar batas kecepatan maksimum. Saya pun mulai merasa seperti anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh seorang remaja perempuan yang sedang mengalami pubertas. Saya mulai merasa sesak. Tapi saya lebih suka tidur meringkuk daripada menggeliat dengan tangan ke atas. Saya menikmati melihat pemandangan penuh warna dan hiruk-pikuk jiwa-jiwa belasan tahun lainnya di sekitar saya. Saya pun merasa cukup dengan tersenyum saja, menonton dari pinggiran, dan pelan-pelan menyelinap lagi ke dalam selimut saya, mendengarkan musik malam minggu atau membaca novel fiksi dan membiarkan jiwa belasan tahun dalam diri saya mendengkur liar dalam cerita-cerita yang membayang di kepala saya. Cerita-cerita tak nampak, cerita-cerita tak nyata, yang di dalamnya jiwa belasan tahun saya bermain. Puas. Dan tidak puas. Nafasnya tidak teratur. Tapi ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas.

Hingga usia delapan belas, saat saya pertama kalinya mengenal kematian. Mungkin itu kali pertama saya berpikir bahwa waktu, jika tiba saatnya, akan berhenti. Dan setiap kecepatan yang pernah dilaluinya menjadi tidak lagi berarti.

Dan lalu, usia dua puluhan pun datang dan berjalan seakan-akan memang seperti itulah seharusnya ia berlalu. Saya tidak lagi menganggap ia berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Pun saya tidak bilang ia menyenangkan atau membosankan. Sama seperti saat saya melewati usia-usia saya yang lalu. Saya tidak dengan gampang mengatakan masa kecil saya bahagia. Atau saya menyimpan kenangan masa usia belasan yang tidak terlupakan. Rasanya, saya tidak cocok dengan konsep-konsep label waktu seperti itu.

Atau itu semua hanya cara saya untuk menghidarkan diri dari mengatakan "saya tidak bahagia"?

.
Kira-kira tiga tahun yang lalu, saat saya duapuluh empat, saya pergi makan malam dengan beberapa teman seangkatan semasa kuliah. Saat itu, salah satu dari mereka bertanya pada kami semua, "hei, kalau kita boleh meminta sendiri sampai usia berapa kita ingin hidup, kalian akan meminta usia berapa?" Waktu itu ada berbagai jawaban yang keluar, tapi yang saya ingat, jawaban yang populer adalah umur 50. Lalu, ada satu orang teman baik saya yang menjawab cukup berbeda, yaitu umur 35. Tentu saja banyak di antara kami yang kaget mendengar jawabannya itu, termasuk saya, walaupun sedikit-sedikit saya bisa menebak dari kondisinya saat itu apa yang membuat dia mengeluarkan jawaban tadi. Teman-teman yang lain tentu penasaran. Tapi dia hanya memberikan jawaban singkat (yang sebenarnya juga nggak menjawab sih), "yaah...nggak tau ya... rasanya ya segitu aja...". Dan setelah itu dengan bercanda kami saling melempar teori tentang hubungan antara si angka-angka tadi dengan harapan hidup dan cita-cita yang kami miliki. Dan tetap... si angka 35 tadi sesekali masih menjadi bahan pembicaraan kita sepanjang perjalanan pulang.

.
Pada tahun itu juga, saya membaca (belum selesai sampai sekarang) "Mimpi-Mimpi Einstein" karya Alan Lightman, sebuah buku tentang berbagai interpretasi akan waktu.

Selama ini saya selalu menganggap jatah waktu untuk hidup di dunia ini adalah sesuatu yang wajar diterima oleh setiap makhluk yang dilahirkan ke dunia ini. Ada waktunya kita dilahirkan. Dan nanti, ada waktunya kita mati. Tapi saya tidak pernah benar-benar berpikir kapan sebenarnya saya lahir, dan kapan kira-kira nanti saya akan mati. Saya menanggap angka 50 sebagai suatu usia yang paling pas menggambarkan suatu siklus ideal (menurut pandangan sebagian orang) kehidupan manusia : lahir - masa kecil - sekolah - kuliah - lulus - bekerja / sekolah lagi / menikah - berkeluarga - hidup bahagia - lalu mati.

Namun, mulai tahun 2010 yang lalu, di awal tahun, entah kenapa saya tiba-tiba didatangi pertanyaan, "kalau ini adalah tahun terkahir kamu hidup di dunia ini, apa yang akan kamu lakukan?" Dan setelah pertanyaan itu muncul tiba-tiba di dalam kepala saya, di tahun 2010 itu juga, saya berhenti membuat resolusi. Tapi, tetap saja, saya belum bisa membiasakan diri dengan pertanyaan lain, yang jauh lebih mendasar, "jika besok kamu mati, bagaimana kamu akan menjalani hidup hari ini?"

.
Saat berumur duapuluh lima, saya membuat papan mimpi, atau papan visi, yang berisi apa-apa saja yang ingin saya miliki, apa-apa saja yang ingin saya lakukan, dan seperti apa saya nanti, lima tahun dari sejak papan tersebut dibuat. Itu berarti kira-kira pada saat saya nanti berumur tigapuluh. Saat ini saya masih setengah jalan menuju ke sana. Dan walau belum semua gambar pada papan tersebut bisa saya coret, saya sudah memikirkan beberapa gambar-gambar apa yang akan saya susun untuk papan berikutnya, untuk nanti saya mulai tepat di umur tigapuluh. Lalu, setelah itu, apa?

Tiba-tiba saya teringat angka 35.
Dan tiba-tiba juga, angka 50 yang pernah saya sebutkan tiga tahun lalu itu seakan hilang begitu saja.

.
Kalau seandainya setelah angka 35 itu tidak akan ada lagi angka-angka lainnya yang mengejar saya, kira-kira, perjalanan seperti apa yang saya bayangkan untuk mencapai angka tersebut? Kira-kira, tujuh tahun seperti apa yang saya inginkan?

Tentunya bukan tujuh tahun yang seakan-akan wajar saja saya miliki.

. . . . . . .
Demi waktu,
Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi,
Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran.
[Q.S. Al - Ashr]
. . . . . . .

Sungguh, waktu adalah milik Tuhan, bukan manusia. Dan rahasia tentangnya, hanya Dia pula yang tahu. Cukuplah untukNya segala ketakutan dalam hati manusia, bukan pada angka yang mengejarnya.


.
Kepergian dua orang sebaya dalam kurun waktu enam bulan, cukup rasanya memaksa saya untuk berpikir "jika besok kamu mati, bagaimana kamu akan menjalani hidup hari ini?" (ditambahkan hari sabtu, 8 januari 2011)

2.1.11

this year is not going to be about be patient
but let it go . . .

1.1.11

amara

bersenandung ia mengantarkan jiwa masuk ke alam mimpi.
bisiknya, adalah nyanyian rindu pada masa depan yang selalu, selalu satu langkah di depannya.

amara, berkata kinasih padanya : biarkan matamu ikut menari,
pejamkan matamu memang akan menjaganya dari luka juga perih,
sekaligus berikan jarak dengan bahagia,
pada balik kelopak akan kamu lihat layar hitam dengan bayang-bayang masa depan,
lalu merasakah kamu itu benar adanya?

amara, terdiam dalam rengkuhan kinasih, lalu pejamkan matanya.

lalu jiwanya dengan pelan menyusup keluar dari lengan yang melingkarinya,
membelakangi dua sosok yang mulai terlelap dan bersinar di tengah malam, lalu menari
menghadap matahari, lampu sorot untuk cerita yang akan dipentaskannya : selamat bermimpi untuk pagi.