3.8.11

3 | e...ca...

Di antara pertarungan seumur hidup melawan diri sendiri adalah menghadapi sifat nyolot saya. Berasal kata 'solot' yang artinya 1) gemas, atau 2) marah sekali, sifat yang bentuk ekspresinya ditandai dengan menaiknya nada bicara ditambah dengan pilihan kata yang sifatnya defensif, sifat satu ini sungguhlah tidak enak didengar, dilihat, apalagi dipelihara.

Maka "kenapa tetap dipelihara dong nyolotnya?" tentunya menjadi salah satu pertanyaan yang sulit saya jawab (tentunya selain pertanyaan "kapan kawin?").

Sebagai perempuan Aries (kok bawa-bawa astrologi??), walaupun tampak luar terlihat (agak) tenang, saya memang merasa memiliki ego yang (terlalu) tinggi. Saya mungkin jarang terlihat komplen, tapi sebenarnya hati saya selalu bergejolak saat melihat hal-hal yang berjalan tidak sesuai yang saya harapkan atau, sejujurnya, berjalan tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan bagaimana seharusnya ia berjalan.

Tetapi, dunia memang tidak berjalan sesuai keinginan saya (saja) kan?

Untuk beberapa hal, akhirnya saya bisa berdamai dengan jalan kompromi. Ada beberapa "seharusnya" versi saya yang akhirnya saya tinjau kembali. Mungkin bahkan kata "seharusnya" (begini atau begitu) itu sebenarnya tidak ada *nah, ini tidak mungkin, karena jelas ada kata "harus" dalam KBBI*.

Sayangnya, untuk beberapa hal sisanya, saya belum sanggup untuk berdamai. Tapi, ya kan nggak mungkin juga saya sampai entah kapan terus-menerus marah-marah untuk hal-hal yang sama, padahal di sisi lain saya juga tahu bahwa hal-hal yang membuat saya marah tersebut tidak akan pernah berubah. Kecuali kalau saya mau mengubah cara pandang saya akan hal tersebut tentunya, yang mana hal tersebut (saat ini) tidak mungkin *ya kalau begitu ceritanya namanya berdamai dong, sedangkan ini kan kasus di mana saya ceritanya belum bisa berdamai*.

Saya memang tidak bisa mengendalikan kapan emosi bisa mendatangi saya dan kapan tidak, tapi saya bisa memilih bagaimana saya berurusan dengannya. Jika sebelum-sebelumnya saya memilih untuk berurusan dengannya  dengan penuh kehebohan (solot sana solot sini), beberapa waktu terakhir ini, saya memilih untuk berusan dengannya dengan berbisik-bisik (nggak nyolot maksudnya).

Susah yaaaaa ~.~

Apalagi ketika orang-orang di sekitar saya sudah terlanjur terbiasa dan bahkan menerima kenyataan bahwa saya orangnya nyolot. Sedih rasanya. Dan bukan sekali dua kali saya 'tergoda' untuk tetap memelihara sifat nyolot ini, karena pikir saya, toh sekuat apapun saya berusaha untuk berubah, tidak ada orang yang akan menyadarinya atau lebih parah, mengapresiasinya. Tanggapan yang bermunculan pun biasanya berkisar pada "udahlah, nyolot mah nyolot aja" atau "udah bawaan juga" dan komentar-komentar lain yang sebangsa. Kesal? Tentu saja *makanya setiap usaha itu kadang berakhir dengan menyerah*.

Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, sifat saya adalah urusan saya dan tanggung jawab saya kepada Tuhan. Bukan urusan orang lain. Bukankah aneh rasanya saat saya merasa kecil hati hanya karena beberapa orang, yang mungkin sebenarnya juga nggak kenal-kenal amat dengan saya, meragukan niat saya untuk memperbaiki diri?

Maka, akhir-akhir ini, di saat-saat saya merasa ingin meledak karena hal-hal yang mungkin kurang penting maka saya pun berlatih menghadapinya dengan menghitung domba membatin "e...ca...pedehhh".

Terdengar basi? Memang. Tapi percayalah, itu ampuh untuk saya. Setiap kali saya merasa terpancing atau terintimidasi dengan orang lain yang berbuntut munculnya emosi-emosi berwarna kelam dalam diri saya, saya selalu mengingat kata-kata sakti tadi, dan meluncurkannya dengan mulus dari mulut dalam hati saya.

Setelah itu, hidup saya pun kembali tenang seakan-akan si hal-hal menyebalkan itu tidak pernah ada, padahal ada, banget, di situ. Tapi saya nggak perlu membuat hidup saya ikut-ikutan jadi menyebalkan, bukan? Kasihan orang lain kalau harus selalu membatin "e...ca...pedeh" setiap kali berhadapan dengan saya.

.

Catatan 1 : terimakasih untuk siapapun yang mempopulerkan istilah "e...ca...(pedeh)" itu beberapa tahun yang lalu.

Catatan 2 : seperti kata Safir Senduk dalam salah satu twit-nya "Terima seseorang apa adanya. Bukan adanya apa." dan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan, maka berilah ruang untuk perubahan itu, baik pada sesuatu maupun seseorang :)

2 comments:

tiffa said...

bagian "udah galak mah galak aja" itu bagian yang sama banget deh. kayaknya udah berusaha jadi lebih sabar pun org masih aja bilang saya galak. mo pasrah kok ya kayanya malah jd gamau berubah, mo maju terus jg ya kayanya sama aja...hahaha

astri said...

kalo saya mendingan maju terus dan saya ngerasa nggak 'sama aja' daripada saya nurutin maunya orang-orangnya tapi di sisi lain tetep yakin kalau nantinya bakal menyesal :p *tapi ya emang susah sih*