30.6.11

Hari ini seorang teman di salah satu situs jejaring sosial memasang status seperti ini :

Did you know that when people appear in your dreams, it's because that person wants to see you.
-TIME magazine-


. . .

Kira-kira, boleh tidak ya (sekali-sekali) saya merasa hal tersebut benar? :)

29.6.11

semata penggalan isi kepala :

"menulis untuk dibagi memang (mungkin) harusnya yang baik-baik saja. namun saat (rasanya) apa yang harus tertumpah adalah bukan yang baik-baik, harus bagaimana? sementara mata membenci luar biasa bahkan sekedar sinisme. apalagi selaput tipis antara kritik dan cela. 

seyakin itukah akan isi kepala telah sanggup membedakan keduanya?

memang betul. diam itu emas. kristal mungkin kalau boleh saya menggantinya. namun tidak begitu kata zaman. 'bicaralah apa yang ada di pikirmu!' begitu katanya.

dan semua orang pun (lalu) sibuk berbicara. apa saja. termasuk (mungkin) yang sebenarnya tidak (benar-benar) ada di pikiran mereka. sekedar membuat riuh. 


sesuka mereka. 



dan (lalu akhirnya berbalas) juga sesuka saya."

28.6.11

at times, it's just i'm in no speed to catch all the glimpse of life outside mine. yes, am basically a total self-centered and highly egocentric. most people said that's just like being a human. 


yet it's not okay. at least for me it is. 


in that case, i'd love to take all what they've said, both if it's said directly towards me or even if it's done behind me, those are caused by what they'd seen in me as a result of me not being able to control what is suppose to be available (in me) for others to see.

26.6.11

"please forgive me, 
for i just want to keep what i really feel like to keep, 
and throw what i really feel like to throw... 

you thought i was a keeper? 
please do think again"

24.6.11

midnight.

by Adhitia Sofyan


Here today gone tomorrow
Washed away all my sorrow
There will be a time when I will come and find you again.

Leave the light on your window
I just might try to follow
There will be a time when I will finally find you

But midnight close my eyes I’m tired I’m fading
I am only human, Searching
Places I wont go where your name are written
We’re all only human, faking

Stay a while fill my hollow
Till the sky turns to yellow
There will be a time when I will come and find you again.

See the time has gone too narrow
They’ll be things you can’t borrow
There will be the day when I will finally find you

. . .

Saya suka sekali lagu ini. Suka. Suka. Suka. Sekali.
tidakkah ada bosan membuntutimu seperti hantu? 
jika kutahu di mana kamu saat ini, ingin rasanya aku terbang menujumu, dan memancangkan papan "milikku, jangan diganggu" di dekatmu. 

tapi kamu tahu, jika betul saat ini aku tahu di mana kamu, tidakkah masa yang di depan itu akan menjadi sesuatu yang ganjil bagi kita berdua nanti? tidakkah penuh janjinya mempertemukan kita hanya pada saat di mana kita sama-sama mengetahui "sekarang"-lah saat itu? tidakkah dengan demikian berakhir segala yang belum bermula?

baiklah, kutiupkan berpeluk-peluk sabar untukmu (juga untukku) dan rindu tanpa nama yang tak cukup tertampung di setiap denyut penghantar kehidupan. lewat semesta, yang (bertutur ia) pada masanya akan membawa kita ke satu tempat yang sama. 

ada harap cemas tempat itu adalah di antara mars juga jupiter. karena ingatanku bilang, dulu, sebelum masa (lagi-lagi) membawa kita ke satu tempat di antara mars dan venus, di sanalah kita untuk (benar-benar) pertama kalinya bertemu. tidakkah begitu?

baiklah, bersama titipan ini, kuselipkan pesan singkat untukmu :
"mari, sayang, kita berandai-andai tidak ada masa, fana maupun baka. sudahkah? lalu dengarlah, tidakkah ada lagi ia yang bertanya-tanya : kapan Tuhan, kapankah akan kami bertemu?"

. . . 

sebuah catatan yang berputar di kepala segera setelah sepuluh bab pertama "Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai" karya Goenawan Mohamad. 

23.6.11

denyut.

penanda kehidupan. penanda masa. penanda luka.

adalah seumpama kehidupan,
di mana riak bercampur dengan dentum, juga sesekali dengan ketiadaan.

adalah serupa masa,
yang melenggang tak kenal sekat, yang biarkan manusia menyebut-nyebutnya sebagai perlambang awal juga akhir.

adalah semata luka,
sebuah cermin seada-adanya dari jantung, atau labirin dalam otak yang sibuk membikin jalan buntu bagi pikir.

. . .

penanda hatikah ia?
bongkahan yang dielu-elukan bangsa manusia,
namun tak lalu mereka dengar suara yang keluar darinya.

ialah denyut itu.

kini, kau tahu tentang rasa,
jangan sekali kaujadikan ia penanda.

damar dan sesal.

pada deretan damar, dalam malam
ada tersimpan keluh yang terlempar di masa akhir belasan
sepuluh tahun lalu.

malam, membungkus langkah bimbang, dengan tetap sama :
gelap, menakutkan,
juga selalu dengan janji bahwa pagi akan datang dalam hitungan jari.

damar, adakah dia menua?
saat menemani ingatan yang berlalu-lalang pada masa lewat di sampingnya.
tidakkan hitungan umurnya pun berjalan mundur?

.

pada deretan damar, menjelang pagi
ada bergema, asa yang terjaga di awal sebuah masa,
lalu, kini dan nanti.

. . .

dan dimanakah jiwa muda manakala ia seharusnya berjalan dengan langkah yang kini tersebut sebagai "seharusnya begitu sewaktu muda dulu"?
ia meringkuk di pojokan, sibuk meracuni dirinya dengan "terlalu tua aku untuk semua ini"


maka benarlah, bahwa penyesalan tidak pernah tepat waktu. 
akankah kau berdamai dengannya, dengan sedikit memaksa untuknya tidak (sekali-sekali) datang kembali? atau akankah kau tersenyum masam, membiarkannya melenggang memasuki hidupmu dan berdiam di sana, dan kamu menyibukkan dirimu dengan merutuk?

21.6.11

berhenti.

ada ambang batas yang sedang berayun,
membaca jemari yang menggapai udara, lalu berayun, lagi, menjauhinya.

ada ambang batas yang berhenti bicara,
karena kata yang meruah, tidak menghentikannya dari semakin mendekat.

ada ambang batas,
yang berlindung di baliknya adalah kata berhenti.


ada ambang batas,
yang lengkungnya membentuk pintu, yang ingin sangat aku terjang.

ada ambang batas,
yang apalah ia suatu ujung akhir atau sekedar rintangan, sudahlah ditentukan oleh sang maha perencana.


jika ia berkehendak, maka kata berhenti bukanlah bagi ambang batas untuk menanggungnya.

19.6.11

untuk bapak tercinta.
dan semua ayah hebat di dunia.


Happy Father's Day!



18.6.11

say you love me - simply red


one of my most favorite songs. filed under "lullaby".

.
dear stranger, please come anytime but not now, would you?
you know, among the absolute don't(s) when you're (feeling) lonely...

is to fall in love.

17.6.11

the future is scary.

From the last episode of "How I Met Your Mother" - Season 6.


When Robin and Barney tried to stop Ted from getting back together with Zoey.
Robin : "Look, Ted, the future is scary. But you can' just run back to the past because it's familiar. Yes, it's tempting." Barney : "But... it's a mistake." Ted : "You're right."
When Ted was gonna tear down The Arcadian.
Ted : "Hey, new is always better, right?" Barney : "Always."
And remember at the previous episode, when it's finally decided that The Arcadian will be torn down.
Ted to Zoey : "Sometimes... things have to fall apart to make way for better things."
.

Indeed, the future is scary. And the past, no matter how annoying it was, will always be something familiar yet remain being our comfort zone. And, who does not want better things ahead? I bet nobody does. But would they mind letting things fall apart to make the way? 


The future, with better things in it, is not something that will come out from nowhere.

The PhD Movie



Let's finish this thesis! 

Let's (soon) make a proposal for the PhD program I desire! 
(yea, there's already one or two on your my box, there I admit it ;p)
(of course while waiting some other proposal to be popped out *rolling eyes*)

.
ps 1 : dear me, you will definitely finish your thesis, but not if you kept torturing your own focus.
and not as long as you didn't stop coming on your own way.
ps 2 : actually i'm not really a fan of the phd comics, but sometimes it gave annoying truth, which i hated to admit, but however was damn true, just like what this movie said :

PILED HIGHER and DEEPER

16.6.11

"hidup itu bukan tesis. tidak perlu itu tipologi, preseden dan skala, apalagi komparasi." *pret* 




-- setelah tesis ini selesai saya nggak mau lagi melihat layar laptop penuh file-file terbuka yang belum selesai...di dalam mimpi *bahkan dalam mimpi pun si tesis harus selalu isi presensi, setiap malam* *jeduk* -- 

"dengan (sekedar) permainan jemari yang hadir lewat adukan aksara tak berima dalam kepala, sungguh bukan maksudku mengelabui hatimu. karena rasa dan canda itu adalah seperti dua sisi pada keping mata uang.

dan tak pernah aku bermain-main dengan rasa. tidak dulu. tidak sekarang. tidak nanti.

jika ada yang terbaca oleh dua dari kita sebagai gurau, maka mungkin itu adalah karena suasana jenaka yang terbangun tidak pada tempatnya."



-- pokoknya-nanti-setelah-tesis-harus-belajar-menulis (lagi) --
air mata itu adalah seumpama aib. semakin disimpan (dari orang lain) semakin baik.


-- perempuan-sangat-cengeng-yang-akhir-akhir-ini-semakin-sering-berairmata-terutama-sekali-karena-sebuah-tesis-beserta-buntut-buntutnya --

gerhana.

adalah serupa rasa tak berpemilik yang merona lewat merah jambu bulan pada suatu malam. ia yang menunggu bayang-bayang bumi berkelebat menyembunyikan rona malu-malu yang datang tiba-tiba. padahal angkasa pun (mungkin) tak peduli, teralihkan oleh arakan awan yang tak pernah coba diusirnya.

maka biarkanlah ia yang seumpama rasa tadi tetap tak berpemilik. saat bulan baru maupun purnama, maupun antara keduanya. yang tak ada bayang-bayang bumi. hingga sepenuhnya ia (selalu) adalah matahari bagi langit malam.

15.6.11

[catatan tidak berjudul]

punya mimpi yang muncul mendadak, absurd dan nampaknya tanpa perhitungan sama sekali itu kadang memang bikin hati jadi kebat-kebit sendiri. tapi sejak kapan mimpi keluar berdasarkan hasil perhitungan? bukankah justru perhitungan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan untuk mewujudkan mimpi tersebut?

punya cita-cita dadakan begini (karena sebelumnya saya tidak pernah bercita-cita demikian), walaupun memang saya akui aneh, tapi kalau bisa membuat saya mantap menyelesaikan yang harus diselesaikan, juga selama itu baik, kenapa tidak?

hanya saja, sedikit catatan untuk si otak kiri : mulai sekarang kerjamu akan luar biasa berat, sayang. kamu berurusan dengan cita-cita yang agak tidak masuk akal :)

14.6.11

"memanggul darma sepanjang titian | lintasi kali masa hingga berbayar di ujung mimpi .


memungut remah-remah kala | ia yang terjerat jejaring pikir, dan lalu ikut jadi terpanggul .


hingga akhirnya tumpah sekeranjang pada muara ."
"memori-memori itu berlapis, membentuk selaput dan membalut sudut-sudut tajam di mana rasa bertempat. menjadi benteng bagi tangan-tangan yang sepenuh diri ingin memeluknya, semata berbekal rasa percaya dan berserah, juga niat tanpa prasangka."

tumbuh seperti tanaman.

Ini adalah catatan tertinggal sepulang dari acara pernikahan teman saya.

. . . . . . .

Catatan 1 :
Tetap dalam nuansa warna ungu, ucapan terimakasih yang dibagikan adalah ... bibit tanaman! Centrosema (tanaman penutup tanah berbunga keunguan), Kangkung grand dan sengon laut (pohon yang bisa tumbuh mencapai ketinggian 40m dan diameter 100cm). Untuk dua tanaman pertama, sepertinya bisa saya coba tanam dalam waktu-waktu dekat. Tapi untuk sengon laut nampaknya saya harus menunggu punya rumah sendiri...

Catatan 2 :
Ini memberikan saya ide, saat saya menikah nanti, saya ingin membagikan ucapan terimakasih berupa bibit tanaman juga. Satu jenis tanaman bunga, satu jenis tanaman obat (ada nggak ya tanaman obat yang bisa ditanaman dari bibit?) dan satu jenis pohon besar (jenis pohonnya sudah terpikir, tapi masih perlu dipertimbangkan kembali :p).

Catatan 3 :
Jika waktunya nanti tiba untuk saya berumah tangga, saya ingin punya rumah dengan halaman yang luasnya cukup untuk ditanami dua pohon mahoni (pokoknya nanti suami saya harus mau halaman rumah kami ber-mahoni *super maksa*). Oh ya, dan saya ingin menanamnya secara generatif, bukan vegetatif. Saya ingin tahu, bagaimana pohon kesukaan saya itu tumbuh dan menjadi besar :)

. . . . . . .

Bukankah menyaksikan bagaimana sesuatu tumbuh seperti tanaman itu sesuatu yang memberikan perasaan hangat ke dalam hati? 

Lalu, katakanlah ada satu lapangan berumput yang luas [bernama hati] di mana kita bisa menanam apa saja di sana. Lalu, diberikan pada kita bibit  yang kita tidak tahu akan menjadi tanaman apakah itu [bisa jadi adalah asal mula suatu rasa]. Lalu, dengan sedikit memejamkan mata, menarik nafas dan tersenyum, ditanamlah bibit tadi [katakanlah ini ibarat memutuskan untuk menjadi berani mengambil resiko, untuk memenuhi rasa ingin tahu "apakah sebenarnya perasaan ini?" atau sekedar menjawab kata hati]. 

Bukahkah dibutuhkan waktu, sedikit atau banyak, untuk memastikan tanaman apa yang akan tumbuh, apakah dia sesuai dengan apa yang kita bayangkan dan kita inginkan [apakah perasaan ini sesuai dengan ketetapannya?]. Lalu bagaimana jika ternyata tanaman itu tidak sesuai dengan yang kita bayangkan dan kita inginkan tadi [dan ternyata perasaan itu bukan apa yang telah digariskannya]? Bagaimana jika binar-binar harap yang mengawali hari-hari pertama dia bertumbuh berakhir dengan hela nafas kecewa?

Tetapi, rasa, seperti tanaman, bukankah dia juga membutuhkan ruang juga waktu untuk lahir dan bertumbuh? Bisa saja dia menjadi benar seperti yang apa yang dibayangkan, bisa juga dia menjadi salah. Namun membiarkannya tumbuh dan menjadi apa yang telah ditentukan baginya, bukankah merupakan satu perhentian dalam perjalanan mendewasakan hati?

. . . . . . .

Dan untuk menjadi berani bertanya akan ketetapannya yang sejati, saya (mungkin) hanya perlu sedikit memberikan rasa percaya. Pada diri saya sendiri. Juga padanya.
tears are inevitable, both in sadness and, foremost, once, happiness.

Adalah status yang saya ketik di jejering sosial burung biru hari minggu kemarin.

Memang kebahagiaan apa yang bisa mengundang air mata? Kali ini tentu saja pernikahan. Pernikahan seorang teman. Menyaksikan pernikahan teman-teman baik saya, khususnya pada saat akad, entah kenapa membuat perasaan saya jadi ikut berdebar-debar (padahal yang nikah bukan saya :p) dan bercampur aduk. Melihat bagaimana mereka melalui momen ijab kabul sebagai pintu gerbang untuk memasuki tahap kehidupan selanjutnya selalu berhasil membuat saya terharu, dan tiba-tiba saja saya sudah sibuk mencari tissue.


Too much to feel. Too much that can't be said.


Ghe! Wish you both a long lasting happiness and a marriage life full of blessings :)

13.6.11

maafkan saya.

mungkin, maaf saja tidak cukup.
mungkin, ini adalah kenapa tuhan membiarkan segala rasa untuknya kini mengkristal
semata, tanpa sisa.


maafkan saya.

11.6.11

tarik nafas. tahan. buang.

sekali-sekali sesuatu itu memang harus ditahan saja, disimpan rapat-rapat,
hingga pelan-pelan membusuk.

demikian.

[catatan tidak berjudul]

Berkejap malam lalui sela-sela lorong hati yang meluruh,
ia seumpama angin yang tak suka tertitah.
Kacaukan irama sejak lahirku dalam detak,
dengan sabda rasa yang ia perdengarkan dalam hilangnya satu ketuk.

Karena pada malam tersimpan semua titipan rasa,
yang tak terhitung, yang tak berujung, yang menunggu waktunya bersuara.

Yang menunggu berani untuk datang, diam, mendengar.

. . .
Catatan : 
Tulisan ini adalah interpretasi bebas dari dialog dalam serial "How I Met Your Mother", Season 6 Episode 18 - Change of Heart -- Lily Aldrin : Your heart's talking to you, Barney. Do you have the guts to listen to it?

10.6.11

diam.

Ada sementara gelisah yang tak terkatakan, apalagi tertuliskan.
Aksara itu kadang terasa berbatas, pun kata-kata yang pernah tercatat dalam pengertian banyak orang.
Sementara, ada kalanya ada gelisah yang bahkan rasa pun masih meraba-rabanya.

Ada sementara gelisah yang tak tertahankan, apalagi tergambarkan.
Ilusatrasi sejuta warna itu bicara banyak hal, kecuali satu, ia itu justru akar gelisah yang bercabang.
Sementara, ada kalanya ada gelisah yang bahkan tak berbayang oleh cahaya.

Sementara gelisah itu,
manakala kelam dan senyap adalah suatu gaduh dengan ketiadaan cahaya juga suara.

Maka hingga ke ujung hati yang mana, rasa mesti meraba-raba dalam gelap,
meraih sang gelisah, mendekapnya dan mengganti kegaduhan yang menyaputnya ...
dengan satu ciuman selamat malam.

Hingga ia menjadi teraku, lalu hilang bersama terbitnya semburat pada pagi.
Dan jiwa yang tertinggal tak perlu lagi belakangi matahari.

quiet (john mayer)

midnight
lock all the doors
and turn out the lights
feels like the end of the world
this Sunday night

there's not a sound
outside the snow's coming down
and somehow I can't seem to find
the quiet inside my mind

3:02
the space in this room
has turned on me
and all my fears have cornered me here
me and my TV screen

the volume's down
blue lights are dancing around
and still, I can't seem to find
the quiet inside my mind

daylight is climbing the walls
cars start and feet walk the halls
the world awakes and now I am safe
at least by the light of day


. . . . . . .

It's not an insomnia I've had. Or so I thought.
It somehow feels exactly like what's written in this song : it's a perfectly blended form of fear and secure altogether towards the world. Strange it is. How two exact different feelings could mixture so well.

Nights, however, held a responsibility of taking such peace and quiet out from my mind on times I mostly needed them. Therefore don't blame me for avoiding daylight.

[1983] nol.

Bermula pada satu masa, di mana arah masih menjadi sesuatu yang terhitung. Seribu langkah ke kanan. Seribu langkah ke kiri. Seribu langah ke belakang. Dan seribu langkah ke depan. Pada satu titik, semua menjadi bulat.

Bulat. Bukan genap. Karena pada titik tadi, genap hanyalah ilusi. Ia bernaung pada pertautan hitam dan putih. Pada titik tadi, rasa telah mati, sekalipun semata suri. Dan genap, sebagai penanda keutuhan, menjadi sesuatu yang ganjil. Sebagaimana ilusi, ia antara ada dan tiada.

Bermula pada satu masa tentang bagaimana sebuah hitungan berawal.

.

Nol.


. . . . . . .

Catatan : 
Tulisan berlabel [1983] terinspirasi dari sebuah komik Jepang (manga) karya Fuyumi Souryo yang berjudul MARS. Komik ini pernah diangkat ke dalam bentuk seri drama di Taiwan dengan judul yang sama. Tokoh utama laki-laki pada cerita ini bernama Rei yang berarti "nol".
Membaca cerita ini, saya menyadari kembali ada banyak sekali cara untuk mengerti karakter seorang manusia. Juga bahwa tidak pernah ada generalisasi yang tidak tergoyahkan. Di satu sisi, hitam dan putih mungkin memang masih menjadi perspektif yang paling mudah dalam membantu memahami sebuah karakter (karena tentu saja akan ada begitu banyak kemungkinan yang bisa diasumsikan saat menggunakan perspektif abu-abu).
Ada banyak alasan mengapa saya menyukai cerita ini. Salah satunya adalah karena penggambaran karakter-karakternya yang sangat kuat (walaupun hampir seluruhnya bernuansa depresif), disertai dengan ilustrasi yang sangat pas. Membaca karakter-karakter dalam cerita ini membuat saya merasakan kembali betapa menyenangkannya membangun karakter-karakter fiktif di dalam kepala untuk hidup dan menjalani satu rangkaian cerita yang bukan kehidupan kita sendiri. 

9.6.11

"Life is a mystery to be lived, 
not a problem to be solved." 


     -- Soren Kierkegaard

hujan.

tahun lalu aku melihatnya turun dari langit yang masih biru,
bertemankan matahari yang tak malu menentangnya,
hingga ia jatuh ke tanah dan berbau kerinduan akan kemarau.

aku lalu melihatnya bertumbuh, datang dan pergi
hingga hari ini, dari langit yang sesekali tidak berwarna,
dan matahari yang mulai bosan berbasah.

telah jadi penanda hari kini kau, hujan. bukan lagi musim,
apalagi cerita tentang dua payung yang berdansa sambil bergunjing,
tentang bagaimana mereka merindukanmu.

botol.

kaca
berperahu
berawal di hulu 
hingga ke akhir bumi

plastik
gaduh
terluka
hanyut, sepanjang aliran utara-selatan

pesan
terselip, kerkubur
terkuak masa
terbuka, lalu berlagu cinta

dengan bahasa yang belum mengenal kata lampau

.

botol
rahasia
dan atlantik

.

kelak

8.6.11

bunga tidur.

Ialah anak semata wayang yang lahir melalui lelapnya jiwa. Mata bersinar, bibir tersenyum, hidung mengembang, dagu terangkat, dahi berkerut, tangan terkepal, kaki siap berlari dan hati yang bimbang. Ia bermuka jamak. Tak kenal siapa yang melahirkannya.

Ialah setapak di mana jawab untuk setiap tanya berlalu lalang. Menjadi semata pertanda, atau niscaya yang tertunda. Tak berpalang dan tak berpenjaga. Juga tanpa pengingat akan jurang di ujung perjalanan.

Ialah pencuri nafas kala raga tak sepenuhnya berkesadaran. Satu detik, dan ialah pencuri sebuah kehidupan.

.

Ialah anak semata wayang yang tidak punya ingatan. Ialah penyaru raga yang menyusup ke dalam bilik memori, menebas setiap lembar catatan yang tersimpan padanya.

Ialah semata wayang ingatan yang tertinggal. Lalu menyaru ia lewat jiwa yang (masihlah) lelap. Keluar pada malam. Menunggu pagi, air dan matahari untuk mekar, serupa kembang, seiring jiwa yang terjaga.

.

Ialah bunga tidur. Penanda bilik memori yang berjamur.

6.6.11

Room Blue


Menemukan ini gara-gara sepupu saya memasang tautan videonya di fesbuk.
Dan saya pun langsung jatuh cinta, seperti waktu pertama kali mendengar 'Bubbly' Colbie Caillat, 'Fly Me to the Moon' Olivia dan 'Chasing Pavement' Adele (oh, dan saya suka sekali video klipnya).
Bagaimana saya bisa mendengarkan lagu-lagu mereka bertiga untuk pertama kalinya, masing-masing punya cerita yang... sama... dan tiga-tiganya ada di bawah folder "mengejar eropa dua-tiga tahun lalu" :))

Tapi Emi Meyer ini mungkin akan masuk di bawah folder "mengejar new york entah berapa tahun lagi"
(ini ceritanya ditulis pas lagi mimpi)

.

Kembali ke "Room Blue", kamar saya memang berwarna biru. Dan sekarang saya yakin, warna biru memang bukan untuk kamar tidur. Untungnya ini adalah saat-saat di mana saya memang sedang harus begadang, mengerjakan tesis, atau ya memang sedang susah tidur saja (sering!).
Warna biru, akhir-akhir ini identik dengan kerinduan. Saya rindu menulis, bermain kata-kata dengan pikiran yang santai. Saya rindu bermain ke toko buku sekedar melihat-lihat buku terbitan terbaru. Saya rindu membaca kisah Manjali dan Cakrabirawa, saya rindu menebak-nebak akhir dari cerita, dan saya ingin segera menghabiskan Mimpi-mimpi Einstein. Saya rindu menyusuri kota-kota Semarang, Yogyakarta dan Solo, atau sekedar berjalan kaki pelan-pelan di sepanjang Jalan Dago di malam hari. Saya rindu menekan tombol shutter, saya rindu melihat sekitar melalui lubang pengintai kamera.

.

Bagaimanapun sesuatu harus diselesaikan.

(betul kan, konsentrasi sedang tidak pada tempatnya, membuat tulisan-tulisan di atas juga mungkin menjadi tidak berada pada tempatnya atau setidaknya tidak berada pada susunan yang benar)

4.6.11

i can't make you love me.


I once posted the lyric here. And I just found this video through some random walks. I love this Bonnie Raitt's version than George Michael's.

And yes, baby, I can't make you love me if you don't.

2.6.11

as fast as she can *)

*) judul episode ke-23 dari serial "How I Met Your Mother" musim ke-4


Tentang jodoh, selama ini saya selalu gelisah sendiri, bertanya-tanya, "dia ada di mana ya?" atau "kenapa dia nggak datang-datang?" atau "dia pasti akan datang nggak sih?" Yah, pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada satu orang pun yang bisa menduga apa jawabannya. 


Lalu, setelah menonton episode tersebut saya tiba-tiba berpikir, bagaimana kalau semua ini dibalik? Bagaimana kalau ternyata saat ini, dia --seseorang yang seharusnya adalah jodoh saya itu -- lah yang sedang sangat gelisah, mungkin sesekali sambil mengeluarkan decakan tak sabar -- persis sama seperti yang saya lakukan -- dan bertanya-tanya, "ada di mana dia?" atau "harus saya cari kemana lagi dia?" Bagaimana kalau selama ini ternyata saya yang sangat lambat dalam berjalan menujunya? Bagaimana kalau selama ini ternyata saya belum melakukan yang terbaik untuk bisa datang ke tempatnya dengan secepat-cepatnya? Bagaimana kalau sebenarnya "tempat pertemuan" kami sudah ditetapkan dan segalanya hanya bergantung pada kecepatan masing-masingdari kami untuk mencapainya? Mungkinkah selama ini kami sama-sama kebingungan di tempat yang salah? Mungkinkah dia sudah mencapai tempat itu terlebih dulu, lalu karena tidak menemukan saya di sana dia lalu pergi lagi? Mungkinkah sekali waktu saya pernah melewati tempat tersebut tanpa mengetahui bahwa di sanalah saya akan bertemu dengannya sehingga saya berjalan agak buru-buru sambil sedikit menunduk dan hampir saja menabrak bahunya yang -- juga tanpa mengetahui bahwa itu adalah tempatnya -- berjalan terburu-buru dengan pandangan lurus ke depan?


Sekali lagi, seperti yang John Mayer lagukan pada "Love Song for Noone" : "I could have met you in a sandbox. I could have passed you on the sidewalk. Could I have missed my chance and watched you walk away?" 


Tentang jodoh ini, yang ada bukan "saya belum menemukannya" atau "dia belum menemukan saya", tapi "kami belum bertemu, pada tempat dan waktu yang benar". Sesederhana itu. Kelihatannya. 


. . . 


Jadi, ayo selesaikan tesis ini! Dan segera pula mainkan dengan betul Sonata No.16 dari Schubert. *loh*
Tinggal dua bulan saja waktu yang tersisa. Kali ini biarkan Tuhan yang menenangkan sepasang hati yang gelisah : "Dia sedang menujumu, kali ini dengan berlari, secepat yang dia bisa. Ayo, kamu juga harus berlari secepat yang kamu bisa, menujunya. Di mana tempat pertemuan kalian? Semua sudah tercatat. Hati kalian tahu. Dan pada waktunya, kalian akan sama-sama menyadarinya."
untuk masa depan,
yang masih bergetar, berbayang, acak dan tak terjamah akal hari ini,

kupecayakan ia padamu,
yang akan menghadirkannya untukku.


satu hari nanti.

. . .

nobody is to be too old for playing sandbox, or bucket list

1.6.11

pada senja.

senja bercerita tentang matahari dan hujan.

matahari, dengan semburat yang terburu-buru meninggalkan langit.
hujan, dengan rintik malu-malu perlahan menyapa tanah yang hangat.

senja bercerita tentang matahari dan hujan.

tentang perjalanan yang tidak pernah terduga,
juga kawan bagi jiwa yang datang dan pergi tiba-tiba.

.

senja bercerita tentang matahari dan hujan,

dan sesekali ia selipkan tentang bianglala :
sang cinta yang berkelebat, meninggalkan jejak tujuh rasa,

lalu mati : matahari membakarnya. hujan melarutkannya.

. . . . . . .


pada suatu senja,
pada suatu dasar angkasa,

bianglala menuliskan ceritanya.