[kopi hitam]
Kira-kira berapa kali nama teman baik kala gelap menyapa ini harus kusebut? Karena nyata hanya pahitnya yang mampu mengkerucutkan setiap kelabu yang membayangi hati, menggelapkannya, dan sayangnya bukan meneduhkannya. Terkerucut sang kelabu, hingga ia kebyar seperti kembang api dalam labirin. Lalu luka pun sembuh. Begitu saja. Mungkin ada mantra yang bercampur bersama bulir-bulir hitam yang terjerang dengan api sedang. Mantra yang begitu saja tertiup oleh gemintang. Mantra yang mewujud dalam rasa asam yang tertinggal di dalam perut, yang mengurai setiap serpih perih yang menempel pada dinding lambung. Hingga tinggal bersisa pahit pada pangkal lidah, menahan barisan yang berderet siap dengan bidikan panah berapi. Ia membuat bukan hanya mata jadi berjaga tapi juga rasa jadi siaga.
[air mata]
Hal-hal yang paling menyakitkan, salah satunya adalah saat aku tahu betul aku ingin menangis. Ingin saja. Walau mungkin bukan butuh. Namun nyatanya tak ada air mata yang bisa keluar. Ini tentu bukan pekerjaan sang kopi hitam, karena uapnya cukup untuk membuat kaca di depan mataku berembun, dan pastinya (akan) cukup pula membuat mata di belakangnya berair. Mungkin kali ini adalah aromanya. Aroma kopi hitam tadi, yang menyelusup lewat hidung, naik ke kepala, mengerubungi pusat perintah untuk menahan turunnya air yang merupakan lepasan segala sesuatu yang busuk itu. Iya. Itu air mata. Busuk. Jangan kau debat. Busuk karena ia adalah penyaring segala belai juga tikam yang datang pada hati. Hanya yang bisa menembusnyalah yang akan menjadi bahagia sejati. Maka dari itu, tentunya adalah salah satu hal yang menyakitkan saat aku ingin menangis tapi tak ada setetespun air yang turun, pun hanya dari sebelah mata. Sakit. Adalah saat tak bisa menyaring mana belai mana tikam, karena satu dari dua, yang manapun dapat matikan sang rasa.
[Cestrum nocturnum]
Adalah sebangsa pohon bunga yang ada di dekat pagar rumah. Bersahabat dengan setelah gelap dan juga musim hujan. Harumnya merangkul udara, menenangkan dan mengusir mereka yang (sengaja) tak terundang.
Demikian, bukankah tak mengapa berjaga hingga dekat saat pagi datang? Bukankah (juga) tak mengapa menggelincir pada genangan sisa hujan?
Karena nyatanya ada keindahan yang menyaru hitam pembungkus langit, juga menyaru bening pembayang setapak berlubang.
. . .
kopi hitam. air mata. Cestrum nocturnun.
pada duabelasjuliduaribusebelas,
pada masa pahit tak lagi bisa menjadi pengurai kusut pikir dalam kepala dan nyeri pada rasa yang hampir mati.
No comments:
Post a Comment