16.1.11

umur, kematian, cita-cita, restu dan patah hati

Kira-kira pada waktu yang sama minggu lalu, saya menerima kabar kepergian seorang teman seangkatan saya semasa kuliah yang saat ini sedang berada di Rotterdam. Padahal belum juga genap enam bulan sejak kepergian seorang teman seangkatan yang lain karena jantung. Padahal baru saja pada hari sebelumnya kami menerima kabar bahwa kondisinya, yang memang dalam keadaan koma akibat asma dan hipotermia, sudah agak membaik dan sedikit-sedikit mulai merespon teman-temannya di sana. Namun ternyata Tuhan sudah punya kehendakNya sendiri. Setelah melewati masa-masa kritis, akhirnya pihak rumah sakit pun memutuskan untuk mencabut alat bantu pernafasannya. Seorang lagi teman kami mendahului kami.

Begitu mendapat berita tersebut pada pagi hari Sabtu seminggu yang lalu saya tidak bisa berkata-kata, juga tidak bisa percaya. Saya hanya bisa diam. Dan mungkin berpikir sedikit lebih banyak daripada biasanya dan merasa jauh lebih hampa daripada biasanya pula. Milis angkatan saya mendadak ramai dengan ucapan belasungkawa dan update-update berita mengenai perkembangan kondisi almarhumah teman kami di sana, yang alhamdulillah di sana ada teman-teman yang sangat luar biasa yang ikut membantu pengurusan jenazah, termasuk perihal kepulangannya ke tanah air.

Di tengah-tengah ucapan bela sungkawa tersebut, ada seorang teman saya yang menyempatkan diri berbagi tentang konsep umur yang ia dengar dari sebuah khutbah jumat, yaitu tentang teladan Umar, seorang pemimpin yang bersih, yang tidak mau menggunakan harta negara sedikitpun untuk kepentingannya dan keluarganya. Dikisahkan, suatu hari ketika anaknya meminta untuk dibelikan baju karena sering diejek di sekolahnya gara-gara mengenakan baju yang penuh tambalan, Umar pun, begitu bersihnya ia tidak mau meminjam uang negara, memutuskan untuk meminjam uang ke rentenir demi bisa membelikan baju anaknya itu. Jika berhasil mendapatkan pinjaman tersebut, ia berencana akan membayarnya dengan gajinya bulan depan. Namun sang rentenir tidak bersedia meminjamkan uang pada Umar. Ia justru berkata, kurang lebih, seperti ini : "Kamu yakin, Umar, bulan depan kamu masih hidup? Kalau tidak, bagaimana kalau setelah kamu berhutang, lalu bulan depan kamu sudah tidak ada? Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan hutangmu di hadapan Allah?" Umar pun batal meminjam uang, lalu kembali ke rumah dan meminta maaf pada anaknya karena tidak bisa membelikannya baju baru saat itu juga.

Teman saya kemudian bilang, kisah tersebut banyak mengingatkannya akan cara menjalani hidup. Katanya, bayangkan kalau besok kita mati, lalu apa artinya kerja keras kita selama ini untuk mengejar cita-cita kita, apapun itu? Karena setelah kita mati, kita tidak akan bisa merasakan kecewa atau sedih bahwa kita belum mencapai cita-cita kita itu. Yang kecewa adalah mereka yang bisa benar-benar melihat potensi masa depan kita dan melihat potensi itu hilang begitu saja. Yang sedih adalah teman-teman dan sahabat-sahabat kita yang tahu bahwa mereka tidak akan bisa lagi bertemu kita. Dan yang paling terluka adalah keluarga yang kita tinggalkan.

Dia juga bilang, banyak di antara kita yang saat ini hidup di kecepatan ultrasonik, dalam mengejar pertumbuhan ekonomi juga ilmu pengetahuan. Mewujudkan cita-cita demi sebuah kemjuan memang membutuhkan resiko. Ada banyak hal yang perlu dikorbankan. Mulai dari harta, waktu, tenaga dan kesehatan, dan bahkan hati hingga nyawa. Bukan berarti lalu kita tidak perlu bermimpi dan bercita-cita. Tapi lebih pada mampu menarik batas yang jelas. Mengutamakan kemajuan tapi lalu dikenal sebagai seseorang yang tidak peduli dengan keluarga, teman dan lingkungan sekitarnya, kita tidak mau seperti itu bukan?

Tulisan teman saya ini benar-benar menampar saya. Tepat setelah saya berpikir, bahwa harga sebuah perubahan dan kemajuan adalah segalanya, apakah kita kehilangan kesehatan kita, kehilangan teman-teman dan keluarga kita atau bahkan kehilangan diri kita sendiri. Nyaris saja saya berpikir semua hal tersebut wajar adanya dalam usaha mewujudkan sebuah cita-cita. Tapi ternyata saya salah. Saya lagi-lagi lupa, saya tidak hidup sendirian.

Seorang teman yang lain mengatakan, bagaimanapun tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti bermimpi dan bercita-cita. Dia bilang, saat kita bermimpi dan berusaha mewujudkan cita-cita kita, kedua orang tua kita pasti akan berdoa untuk kita, yang artinya mereka ikhlas (ridha) untuk kita. Dan saat mereka ikhlas, maka Tuhan pasti juga akan meridhai perjalanan kita. Dan setiap kehendakNya, sekalipun itu berbeda dengan harapan kita, pasti adalah yang terbaik bagi kita dan juga orang-orang yang mencintai kita dan kita cintai.

.

Bagi saya akhirnya semua adalah sama pentingnya, diri kita sendiri, keluarga dan teman-teman, juga mimpi dan cita-cita kita. Semua berujung pada sebuah kalimat, "bagaimana jika saya mati besok?" Bagaimana saya ingin orang mengingat saya? Bagaimana hubungan yang akan saya tinggalkan dengan orang-orang yang mencintai saya dan saya cintai? Apa saja yang sudah saya lakukan untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita saya? Bagaimana mimpi dan cita-cita saya bisa membawa kebaikan bagi lingkungan, negara dan agama saya? Apakah saya sudah menjalani kehidupan sesuai dengan yang digariskanNya untuk saya? Apakah saya sudah melakukan pekerjaan saya dengan sebaik-baiknya dan sekuat-kuatnya? Apa saya sudah berusaha semampu saya untuk 'memanggil' jodoh yang telah disipakanNya untuk saya? Apakah bagaimana saya mati nantinya akan benar-benar sesuai dengan bagaimana kematian telah ditentukanNya untuk saya?

Dan sesungguhnya rahasia Tuhan tidak pernah terbatas angka dan tidak pernah pula terkungkung oleh berbagai syarat.

.

Semoga Tuhan berkenan menghapus segala dosa kedua teman saya dan meridhai setiap yang telah mereka lakukan sepanjang hidupnya dalam mewujudkan mimpi dan cita-cita, yang juga telah memberikan makna bagi keluarga, teman-teman dan lingkungan mereka.

4 comments:

tippa said...

sy jd inget mba wid, bhw temen2 sy, ngga pernah bilang kl sy ini org baik.

sy jd takut kl inget itu...

astagfirullah.

astri said...

eniwei... walo mereka nggak bilang kan bukan terus berarti tiffa bukan orang baik, fa..

zwartehondster said...

iya sih mbak. lg aneh pun kl tiba2 dibilang org baik :))

maksud sy, pada batas tertentu jadinya mikir. ada betulnya yg pepatah bilang: baik jd org penting, lebih penting jd org baik.

baik itu apa ya..
sy takut, selama ini sy pengen dianggap penting doang, dan 'dianggap baik' doang juga :D

ah gatau ah. mikirin pendapat org malah jadi ngga enak hati sendiri, haha.

astri said...

hehe...emang kadang jadi serba salah juga. di satu sisi nggak pengen terlalu mendengar apa kata orang lain tentang kita, tapi di sisi lain apa yang mereka bilang tentang kita ya itu berarti adalah seperti apa kita di mata mereka.

kalo tentang "baik" dan "penting", akhirnya saya cuma pengen punya orang2 yang saya cintai dan cinta ama saya. dan kalo udah cinta, itu pastinya lebih dari sekedar karena kita "baik" atau kita "penting".

heuu, masih nggak terlalu ngerti juga sih..tapi intinya, dengan sering2 inget mati, kadang akan mempengaruhi orientasi berpikir kita, termasuk cara kita berhubungan ama orang lain.. susah memang mau berubah, tapi selama masih ada umur mudah2an kesempatan selalu ada..

*loh kok jadi panjang*