5.1.11

umur

Saya suka matematika. Tapi saya tidak begitu suka dengan angka-angka. Apalagi saat mereka mulai main kejar-kejaran, seperti yang saat ini sedang ada di belakang saya : umur.

Dulu, waktu masih kecil, saya selalu menganggap bahwa waktu berjalan dengan sangat lambat. Bahwa selamanya saya akan menjadi seorang anak kecil. Saat itu, masa depan, atau sosok-sosok yang kelihatannya lebih tinggi dan besar dari saya itu, rasanya masih sangat jauh. Dan bahkan, sekali waktu saya menganggapnya tidak akan pernah bisa terjangkau oleh saya. Saat itu, rasanya sebuah kehidupan akan berlangsung untuk selamanya.

Dulu, waktu melewati usia belasan, saya menganggap waktu tiba-tiba menjadi sangat labil. Kadang dia berjalan super lambat. Kadang saya merasa dia berlari hingga melanggar batas kecepatan maksimum. Saya pun mulai merasa seperti anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh seorang remaja perempuan yang sedang mengalami pubertas. Saya mulai merasa sesak. Tapi saya lebih suka tidur meringkuk daripada menggeliat dengan tangan ke atas. Saya menikmati melihat pemandangan penuh warna dan hiruk-pikuk jiwa-jiwa belasan tahun lainnya di sekitar saya. Saya pun merasa cukup dengan tersenyum saja, menonton dari pinggiran, dan pelan-pelan menyelinap lagi ke dalam selimut saya, mendengarkan musik malam minggu atau membaca novel fiksi dan membiarkan jiwa belasan tahun dalam diri saya mendengkur liar dalam cerita-cerita yang membayang di kepala saya. Cerita-cerita tak nampak, cerita-cerita tak nyata, yang di dalamnya jiwa belasan tahun saya bermain. Puas. Dan tidak puas. Nafasnya tidak teratur. Tapi ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas.

Hingga usia delapan belas, saat saya pertama kalinya mengenal kematian. Mungkin itu kali pertama saya berpikir bahwa waktu, jika tiba saatnya, akan berhenti. Dan setiap kecepatan yang pernah dilaluinya menjadi tidak lagi berarti.

Dan lalu, usia dua puluhan pun datang dan berjalan seakan-akan memang seperti itulah seharusnya ia berlalu. Saya tidak lagi menganggap ia berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Pun saya tidak bilang ia menyenangkan atau membosankan. Sama seperti saat saya melewati usia-usia saya yang lalu. Saya tidak dengan gampang mengatakan masa kecil saya bahagia. Atau saya menyimpan kenangan masa usia belasan yang tidak terlupakan. Rasanya, saya tidak cocok dengan konsep-konsep label waktu seperti itu.

Atau itu semua hanya cara saya untuk menghidarkan diri dari mengatakan "saya tidak bahagia"?

.
Kira-kira tiga tahun yang lalu, saat saya duapuluh empat, saya pergi makan malam dengan beberapa teman seangkatan semasa kuliah. Saat itu, salah satu dari mereka bertanya pada kami semua, "hei, kalau kita boleh meminta sendiri sampai usia berapa kita ingin hidup, kalian akan meminta usia berapa?" Waktu itu ada berbagai jawaban yang keluar, tapi yang saya ingat, jawaban yang populer adalah umur 50. Lalu, ada satu orang teman baik saya yang menjawab cukup berbeda, yaitu umur 35. Tentu saja banyak di antara kami yang kaget mendengar jawabannya itu, termasuk saya, walaupun sedikit-sedikit saya bisa menebak dari kondisinya saat itu apa yang membuat dia mengeluarkan jawaban tadi. Teman-teman yang lain tentu penasaran. Tapi dia hanya memberikan jawaban singkat (yang sebenarnya juga nggak menjawab sih), "yaah...nggak tau ya... rasanya ya segitu aja...". Dan setelah itu dengan bercanda kami saling melempar teori tentang hubungan antara si angka-angka tadi dengan harapan hidup dan cita-cita yang kami miliki. Dan tetap... si angka 35 tadi sesekali masih menjadi bahan pembicaraan kita sepanjang perjalanan pulang.

.
Pada tahun itu juga, saya membaca (belum selesai sampai sekarang) "Mimpi-Mimpi Einstein" karya Alan Lightman, sebuah buku tentang berbagai interpretasi akan waktu.

Selama ini saya selalu menganggap jatah waktu untuk hidup di dunia ini adalah sesuatu yang wajar diterima oleh setiap makhluk yang dilahirkan ke dunia ini. Ada waktunya kita dilahirkan. Dan nanti, ada waktunya kita mati. Tapi saya tidak pernah benar-benar berpikir kapan sebenarnya saya lahir, dan kapan kira-kira nanti saya akan mati. Saya menanggap angka 50 sebagai suatu usia yang paling pas menggambarkan suatu siklus ideal (menurut pandangan sebagian orang) kehidupan manusia : lahir - masa kecil - sekolah - kuliah - lulus - bekerja / sekolah lagi / menikah - berkeluarga - hidup bahagia - lalu mati.

Namun, mulai tahun 2010 yang lalu, di awal tahun, entah kenapa saya tiba-tiba didatangi pertanyaan, "kalau ini adalah tahun terkahir kamu hidup di dunia ini, apa yang akan kamu lakukan?" Dan setelah pertanyaan itu muncul tiba-tiba di dalam kepala saya, di tahun 2010 itu juga, saya berhenti membuat resolusi. Tapi, tetap saja, saya belum bisa membiasakan diri dengan pertanyaan lain, yang jauh lebih mendasar, "jika besok kamu mati, bagaimana kamu akan menjalani hidup hari ini?"

.
Saat berumur duapuluh lima, saya membuat papan mimpi, atau papan visi, yang berisi apa-apa saja yang ingin saya miliki, apa-apa saja yang ingin saya lakukan, dan seperti apa saya nanti, lima tahun dari sejak papan tersebut dibuat. Itu berarti kira-kira pada saat saya nanti berumur tigapuluh. Saat ini saya masih setengah jalan menuju ke sana. Dan walau belum semua gambar pada papan tersebut bisa saya coret, saya sudah memikirkan beberapa gambar-gambar apa yang akan saya susun untuk papan berikutnya, untuk nanti saya mulai tepat di umur tigapuluh. Lalu, setelah itu, apa?

Tiba-tiba saya teringat angka 35.
Dan tiba-tiba juga, angka 50 yang pernah saya sebutkan tiga tahun lalu itu seakan hilang begitu saja.

.
Kalau seandainya setelah angka 35 itu tidak akan ada lagi angka-angka lainnya yang mengejar saya, kira-kira, perjalanan seperti apa yang saya bayangkan untuk mencapai angka tersebut? Kira-kira, tujuh tahun seperti apa yang saya inginkan?

Tentunya bukan tujuh tahun yang seakan-akan wajar saja saya miliki.

. . . . . . .
Demi waktu,
Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi,
Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran.
[Q.S. Al - Ashr]
. . . . . . .

Sungguh, waktu adalah milik Tuhan, bukan manusia. Dan rahasia tentangnya, hanya Dia pula yang tahu. Cukuplah untukNya segala ketakutan dalam hati manusia, bukan pada angka yang mengejarnya.


.
Kepergian dua orang sebaya dalam kurun waktu enam bulan, cukup rasanya memaksa saya untuk berpikir "jika besok kamu mati, bagaimana kamu akan menjalani hidup hari ini?" (ditambahkan hari sabtu, 8 januari 2011)

No comments: