Berkarung surat cinta yang tak pernah kukirim, kini kuseret lewat udara. Mempertemukan mereka denganmu, yang diam-diam menyembunyikan ciuman pertama, adalah rencana yang selalu tercatat di dalam hati.
Waktu itu aku masih percaya, Tuhan punya jadwal setiap malam untuk berbicara pada satu-satu manusianya. Dan waktu itu aku percaya, malam itu, adalah giliranku. Dan waktu itu, ternyata Tuhan mengajakku bicara tentang kamu.
Tak ada album hitam putih. Apalagi kartu remi untuk meramal. Hanya ada serupa nama yang terdengar sayup, tanpa wajah. Dengan gelisah aku pun berlari menyusuri pintu-pintu yang terkawal oleh pilar-pilar dingin dan kaku. Dengan gelisah, kucari seraut wajah yang kuyakin akan kumiliki di masa depan.
Tapi aku menginginkannya sekarang!
Dan Tuhan, mungkin akan berkata, betapa manjanya manusia ini. Namun tetap dengan senyum, sebelum menutup malam, Tuhan selipkan secarik kertas di antara kedua telapak tanganku.
pada suatu tempat, di mana kamu tidak lagi bermimpi
pada satu persimpangan, di mana kamu tertatih-tatih berdiri.
pada suatu waktu, di mana kamu tidak lagi mencari bahagia
pada suatu jeda, di mana kamu bersakit-sakit mencinta.
ada kamu dan kamu, yang telah lupa tentang saling menunggu.
ada kamu dan kamu, yang akhirnya ingat untuk saling temukan.
No comments:
Post a Comment