Suatu hari saya harus menjejakkan kaki di kota London! Berdiri di depan pintu gerbang Olympic Stadium, sambil meminum segelas kopi take-away dan mengayun payung putih transparan. Sambil sesekali melihat ke arah putaran the London's Eye. Dan berharap-harap cemas kamu tidak lupa waktu pertemuan kita sesuai perjanjian di satu waktu lalu kala dunia mimpi kita pernah saling terhubung dan saling mendesak satu sama lain. Saya tak sabar menunggu saat mendengar kamu memperkenalkan dirimu nanti, apakah benar kamu adalah sang pencatat. Dan mungkin kamu juga tak sabar menunggu saat mendengar saya memperkenalkan diri nanti, apakah benar saya adalah sang tanda yang kamu tunggu.
Lalu setelah bertemu dan saling tersenyum nanti, kita berdua akan sama-sama berjalan menuju taman terdekat dan menggambar kota ini. Saya akan berdebar-debar ingin tahu warna apa saja yang akan kamu pilih. Apakah seperti pilihan saya, ada warna merah, hijau, dan putih? Atau kamu justru lebih memilih warna hitam, putih, dan abu-abu?
Tapi nyatanya kamu tak mengambil satu warnapun, kecuali kelabunya pensil. Kamu cuma bilang, "pertemuan tak perlu warna. Kalau sekarang kira bersepakat untuk sama-sama menyimpan hari ini, mungkin besok-besok saya akan menggunakan sedikit merah dan mungkin juga sedikit hijau. Bagaimana?"
Lalu hujan turun.
Saya diam, dan membuka payung putih transparan, dan memegang gagangnya demikian sehingga tepat berada di antara saya dan kamu dan menaungi sedapatnya masing-masing kita. Tidak lebih besar pada bagian kamu, tidak juga lebih besar pada bagian saya. Hujan yang tak memilih satu dari kita untuk tetap kering tentu tahu, ada sebuah anggukan yang tak perlu terbahasakan.
Dan saat itu, kita akan sama-sama tahu. Bahwa mimpi adalah bunga tidur : sebuah pemutaran segulung memori dari masa depan.
No comments:
Post a Comment