Sekalipun banyak yang mengatakan saya adalah orang yang cukup tertutup, saya sendiri tidak merasa demikian. Saya merasa cukup membuka diri saya. Secukupnya. Dan cara ternyaman bagi saya untuk melakukannya adalah dengan menulis. Puisi kebetulan adalah bentuk yang saya pilih untuk mewadahi hampir sebagian besar percikan diri saya yang ingin menyeruak menyapa apa-apa yang ada di luarnya. Menulis, dalam hal ini, adalah jalan paling aman bagi saya untuk membuka sebagian diri. Dan tentunya paling menyenangkan.
Setiap kali saya merasakan gejolak emosi di dalam diri, tangan saya serta merta mencari pensil dan kertas, atau papan ketik dan layar. Entah itu emosi kanan atau pun kiri; senang, jatuh cinta, sedih, marah, patah hati, kecewa, bangga, malu, kesal, dan mungkin jenis-jenis emosi tak bernama lainnya. Menulis adalah sebuah bentuk keseimbangan yang mungkin sudah sedari awal menempatkan dirinya dalam konstruksi sikap seorang saya.
Saya sangat menyukai kondisi di mana segala sesuatunya ada dalam kendali saya. Rencana dan eksekusi dan hasil. Sayangnya, segala sesuatu tidak suka berada di dalam kendali saya. Menulis, juga, bagi saya adalah sebuah pelajaran tentang memilih bagaimana saya bersikap terhadap diri saya sendiri. Apakah saya akan bersikap keras atau lunak, atau di antaranya, atau terlalu daripadanya. Bisa saja saya memilih untuk memaafkan diri sendiri. Bisa jadi pula saya memilih untuk menyimpan dendam dan bom waktu terhadap diri sendiri.
Menulis adalah menjinakkan ketakutan akan gejolak manusiawi yang sedianya teman perjalanan mencari jati bagi diri. Sebaiknya ia menjadi bagian dari hari, sependek apa pun.
Karenanya, adalah hal yang cukup menyakitkan ketika perlahan ia tak sengaja terlepas, dan kadang terlupakan. Ada bagian dari sebuah perjalanan tanpa henti yang menghilang. Perjalanan tak lagi pernah genap. Bukan sempurna, namun genap. Ia menjadi terlalu ganjil untuk dianggap lumrah.
Sebelum semua terlanjur lewat. Sebelum hujan terbawa angin, dan debu-debu berganti tanpa berjejak, ada sedikit usaha untuk mengenggamnya kembali. Sedikit-sedikit. Perlahan-lahan. Hingga nanti, semoga, ia menjadi penuh dalam pelukan seperti sedia kala.
Saya menulis, karena itu saya dapat menuang sedikit setiap jati dari diri, dan membiarkannya berkelana bersama waktu.
Sebelum semua terlanjur lewat. Sebelum hujan terbawa angin, dan debu-debu berganti tanpa berjejak, ada sedikit usaha untuk mengenggamnya kembali. Sedikit-sedikit. Perlahan-lahan. Hingga nanti, semoga, ia menjadi penuh dalam pelukan seperti sedia kala.
Saya menulis, karena itu saya dapat menuang sedikit setiap jati dari diri, dan membiarkannya berkelana bersama waktu.
2 comments:
sukaaa... :)
*duduk manis menunggu mbaknya terbitin buku*
Post a Comment