Semenjak membaca "Manjali dan Cakrabirawa" Ayu Utami, entah mengapa rasanya saya semakin terobsesi pada "membaca tanda". Terobsesi mungkin bukan kata yang tepat. Rasa penasaran yang melonjak-lonjak tak wajar mungkin lebih tepat.
Bagi saya, tanda selalu berada di antara ketakutan dan bacaan. Ketakutan, untuk rasa takut. Bacaan, untuk sesuatu yang dibaca. Setelah itu, "hati-hati" pun menjadi bermakna ganda. Bukan lagi semata duplikasi hati, apalagi jaga diri. Ia menjadi pakai hati untuk takut, dan pakai hati untuk membaca. Karena (hanya) pikiran yang takut itu membutakan. Karena (hanya) mata yang membaca itu silap.
Memilah tanda di antara rasa takut, atau tanda di antara sekian sekadar bacaan, bukan perkara mencari jarum di antara jerami. Ia adalah mencari jerami di antara jerami. Satu helai yang mempunyai maknanya sendiri.
Satu kali saya berlatih dengan bertaruh. Satu kali saya berlatih dengan menetapkan. Bertaruh, apakah kiranya ini tanda atau hanya rasa takut. Menetapkan, bahwa ini adalah tanda, dan itu adalah bacaan tak bermakna. Lalu ada menang atau kalah. Lalu ada benar atau salah.
Tanda bukan tentang keempatnya. Ia memang bukan untuk saat-saat dengan kepala yang terlalu besar, hati yang terlalu tinggi, jiwa yang terlalu kecil.
Membaca adalah dengan nama tuhan. Adalah dengan keyakinan yang sedang tak bersekat.
No comments:
Post a Comment