22.3.18

.5

Saya bukan penulis, jadi menggunakan istilah writer's block rasanya terlalu berlebihan. Namun rasanya memang tidak ada frasa lain yang bisa dengan benar menggambarkan apa yang saya alami selama beberapa tahun belakangan ini. Menulis memang adalah salah satu cara saya mengeluarkan isi kepala dan hati, yang sampai saat ini masih saya percaya menjadi sahabat baik setiap saya merasakan tekanan dalam diri, maka tentunya kondisi writer's block ini membuat saya sering merasa sesak.

Saya lupa kapan tepatnya kondisi ini bermula. Namun saya ingat kira-kira setelah saya pindah ke Jakarta di semester akhir 2013, frekuensi menulis saya menurun hampir sangat drastis. Letupan-letupan bukannya tidak ada. Namun pelan-pelan saya lebih memilih untuk tidak mencatatnya dan malah membiarkannya lebur saja bersama udara, saat itu. Saya pun lalu mulai kehilangan kendali akan setapak-setapak yang saya buat, baik sengaja maupun tidak. Dan lama-lama, saya pun mulai kehilangan diri saya sendiri.

Kalau boleh membuat alasan, sejujurnya saat itu saya merasa roda kehidupan saya berputar cepat sekali, tidak memberikan waktu untuk banyak berpikir. Apalagi menulis. 

2013-2014 bukanlah tahun-tahun yang baik bagi hati saya. 2015-2016 yang saya sangka akan lebih bersahabat, nyatanya sama saja. Namun bedanya, di dua tahun yang terakhir itu saya sudah lebih bersahabat dengan diri yang gelisah, antara ingin tanah untuk berpijak dan langit untuk terbang. Tetap saja, bukan tahun-tahun yang baik untuk membuat keputusan apa pun, tetapi pada akhirnya saya membuat satu keputusan yang membawa saya ke titik yang ini. Titik yang (tetap) penuh abu-abu, tetapi dengan rona yang membuat saya (merasa lebih) bersinar, ini saya yakini sepenuh hati.

Sampai di sini, pertanyaan itu kembali: bisakah saya menulis kembali?

No comments: